Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir

Posted April 26, 2008 by coastaleco
Categories: Makalah

Oleh : Achmad Fahrudin dan Gatot Yulianto

1. Ketergantungan Terhadap Sumberdaya Alam

Nilai dan arti penting pesisir dan laut bagi bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua aspek, yaitu : Pertama, secara sosial ekonomi wilayah pesisir dan laut memiliki arti penting karena (a) sekitar 140 juta (60 %) penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir (dengan pertumbuhan rata-rata 2 % per tahun); (b) sebagian besar kota, baik propinsi dan kabupaten) terletak di kawasan pesisir; (c) kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional sekitar 20,06 % pada tahun 1998 dan (d) industri kelautan (coastal industries) menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja secara langsung.
Kedua, secara biofisik, wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki arti penting karena (a) Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada, yaitu sekitar 81.000 km (13,9 % dari panjang pantai dunia) dan ; (b) sekitar 75 % dari wilayahnya merupakan wilayah perairan (sekitar 5,8 juta km2 termasuk ZEEI; (c) Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan (d) Dalam wilayah tersebut terkandung potensi kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya yang terdiri atas potensi sumberdaya alam pulih (renewable resources) seperti perikanan, ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang) maupun potensi sumberdaya alam tidak pulih (non renewable resources) seperti migas, mineral atau bahan tambang lainnya serta jasa-jasa lingkungan (environmental services), seperti pariwisata bahari, industri maritim dan jasa transportasi.

Sumberdaya alam dan lingkungan merupakan modal pembangunan yang dapat dikelola untuk menyediakan barang dan jasa (goods & services) bagi kemakmuran masyarakat dan bangsa. Dilihat dari potensi dan kemungkinan pengembangannya, wilayah pesisir memiliki peranan penting dalam pembangunan nasional, apalagi bangsa Indonesia saat sekarang sedang mengalami krisis ekonomi. Peranan tersebut tidak hanya dalam penciptaan pertumbuhan ekonomi (growth), tetapi juga dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat (social welfare) dan pemerataan kesejahteraan (equity). Namun demikian, peranan tersebut tidak akan tercapai dengan baik apabila mengabaikan aspek kelestarian lingkungan (environmental sustainability) dan kesatuan bangsa (unity).

2. Ciri Khas Wilayah Pesisir
Ditinjau dari aspek biofisik wilayah, ruang pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya bersifat khas sehingga adanya intervensi manusia pada wilayah tersebut dapat mengakibatkan perubahan yang signifikan, seperti bentang alam yang sulit diubah, proses pertemuan air tawar dan air laut yang menghasilkan beberapa ekosistem khas dan lain-lain.
Ditinjau dari aspek kepemilikan, wilayah pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya sering tidak mempunyai kepemilikan yang jelas (open access), kecuali pada beberapa wilayah di Indonesia, seperti Ambon dengan kelembagaan sasi, NTB dengan kelembagaan tradisional Awig-awig dan Sangihe Talaud dengan kelembagaan Maneeh.
Dengan karaktersitik yang khas dan open access tersebut, maka setiap pembangunan wilayah dan pemanfaatan sumberdaya timbul konflik kepentingan pemanfaatan ruang dan sumberdaya serta sangat mudah terjadinya degradasi lingkungan dan problem eksternalitas.

3. Karateristik Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir
Mata pencaharian : sebagian besar penduduk di wilayah pesisir bermatapencaharian di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resources base), seperti nelayan, petani ikan (budidaya tambak dan laut), Kemiskinan masyarakat nelayan (problem struktural), penambangan pasir, kayu mangrove dan lain-lain. Sebagai contoh : Kecamatan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara dengan penduduk 17.991 jiwa, sekitar 71,64 % merupakan nelayan (Tahun 2001).
Tingkat pendidikan : sebagian besar penduduk wilayah pesisir memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Sebagai contoh : penduduk Kecamatan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara (Tahun 2001) sekitar 70,10 % merupakan tamatan Sekolah Dasar (SD) dan sejalan dengan tingkat tersebut, fasilitas pendidikan yang ada masih sangat terbatas.
Lingkungan pemukiman : kondisi lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum tertata dengan baik dan terkesan kumuh.
Dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang relatif berada dalam tingkat kesejahteraa rendah, maka dalam jangka panjang tekanan terhadap sumberdaya pesisir akan semakin besar guna pemenuhan kebutuhan pokoknya.

4. Model dan Pelaksanaan Perencanaan Pembangunan Wilayah
Model perencanaan : perencanaan masih bias ke up land, meski ada pengakuan hukum tentang ruang laut (UU No. 24/1992 tentang penataan ruang). Ruang kawasan pesisir termasuk ruang kawasan tertentu yang perencanaan dan penataannya terkait dengan produk tata ruang nasional, propinsi dan kabupaten. Model perencanaan up land menganggap wilayah pesisir given (padahal banyak interaksi ekonomi dan ekologis) contoh : teori land rent dan teori lokasi. Sebagai contoh, banyak kota besar di Indonesia yang terletak di pantai mempunyai perencanaan tata ruang yang bias ke darat. Model perencanaan yang diperlukan adalah integrasi antara up land dengan wilayah pesisir dan laut untuk membentuk an area development planning guna mencapai sustainability development (growth, equity and environmental sustainability), regional stability and nation unity.
Proses perencanaan : Proses perencanaan selama ini bersifat sentralistik (top down panning). Proses perencanaan yang diperlukan adalah pendekatan perencanaan koordinatif-desentralistik untuk menampung berbagai aspirasi stake holder dengan menerapan strategic development panning dan public choice.
Output perencanaan : Hasil perencanaan masih belum diimplementasikan secara optimal mengingat masih banyaknya tumpang tindih bentuk perencanaan dari berbagai instansi serta belum diakui oleh seluruh stake holder. Dengan perkataan lain belum menjadi pegangan bagi setiap pihak yang berkepentinngan.
Dari hal tersebut diatas, maka setiap langkah pembangunan, termasuk sektor swasta akan menemui kendala dan pada gilirannya sumberdaya alam dan lingkungan akan mengalami tekanan yang besar.

5. Sifat dan Proses Perusakan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Permasalahan yang dihadapi dalam kerusakan sumberdaya dan lingkungan dicirikan oleh sifat dari proses perusakannya yang berjalan relatif perlahan, namun dampaknya kebanyakan bersifat menyebar dan komulatif, sehingga pada suatu saat akan terjadi krisis yang penangulangannya dulit dan mahal. Sedangkan sifat pembuat aktivitas yang memberikan dampak negatif pada umumnya merupakan golongan yang kuat secara sosial, ekonomi dan politik, yang mempunyai limpahan dan property right yang unggul. Sedangkan penerima dampak merupakan golongan miskin yang lemah hak-haknya. Dengan demikian disparsitas hak-hak merupakan dapat menimbulkan perusakan lingkungan.
Masalah kekurangan dalam sistem penilaian terhadap sumberdaya alam dan lingkungan dalam sistem ekonomi dan masyarakat, juga menjadi penyebabkan kerusakan. Berlainan dengan jenis sumberdaya alam lainnya (antara lain sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan yang selalu diperhatikan oleh perencana ekonomi), sumberdaya alam mengingat nilai-nilai dan jasa-jasanya tidak dihitung dalam sistem ekonomi pasar, maka nilainya tidak didaftar dalam PDB dan PDRB, sehingga pemeliharaannya dapat terabaikan. Padahal sumberdaya alam dan lingkungan memilii pernan penting dan terjadinya kerusakan akan mengancam pertumbuhan ekonomi nasional dan regenional dan pada gilirannya akan mempertajam tingkat kesejahteraan dan perbedaaan tingkat hidup antar golongan masyarakat.
Ekologi, ekonomi dan pembangunan berkelanjutan dapat memiliki keterkaitan yang penting. Mengingat adanya sistem pendukung penghidupan semesta, yaitu ekosistem yang dapat menentukan ekonomi dunia. Bila lingkungan fisik digambarkan sebagai kumpulan kemungkinan penggunaan, maka pada dasarnya ditentukanlah hubungan ekonomi dan ekologi. Kemungkinan-kemungkinan penggunaan tersebut disebut sebagai fungsi-fungsi lingkungan dan mungkin akan bersaing satu sama lain. Bila tahap tersebut tercapai, maka unsur konflik sejalan dengan konsep permukaan kelangkaan (scarcity) dan karenanya lingkungan akan mempunyai aspek ekonomi. Ekonomi akan menjadi bahasan penting bila menyangkut kelangkaan dan kompetisi. Konflik tersebut tampaknya akan mempunyai sifat antar generasi, yang mempunyai pilihan antara memaksimumkan produksi atau pertumbuhan jangka pendek tak berkelanjutan atau menggunakan fungsi lingkungan tersebut dengan cara yang lebih berkelanjutan. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa manifestasi ekonomi dari kejadian kerusakan lingkungan dapat menjadi indikator penting bagi perlunya penentuan kebijakan yang diarahkan pada pembanguan yang berkelanjutan.
Adanya prilaku produsen yang memaksimumkan keuntungan di salah satu sisi dan prilaku konsumem yang memaksimumkan utilitasnya di sisi lain dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang bersifat open access dan tidak dihitung dalam sistem pasar dapat mengakibatkan alokasi sumberdaya dan lingkungan secara ekonomi tidak efisien. Oleh karenanya, diperlukan campur tangan pemerintah untuk mengatur alokasi sumberdaya tersebut. Namun demikian, upaya-upaya tersebut sering menemui hambatan karena pelaku ekonomi dan pemerintah memiliki cara pandang yang berbeda dan informasi yang terbatas tentang nilai ekonomi dari sumberdaya alam tersebut. Oleh karenanya penilaian terhadap sumberdaya yang tidak dipasarkan (non market valuation) perlu dilakukan agar tujuan pembangunan wilayah pesisir dan lautan dapat tercapai.
Pentingnya mempertimbangkan aspek lingkungan (selain ekonomi) dapat dilihat dari kenyataan bahwa sumberdaya pesisir mempunyai peranan penting dilihat dilihat dari segi ekologis, diantaranya sebagai penyeimbang ekosistem dan penyedia kebutuhan hidup bagi hewan. Sebagai contoh ekosistem hutan mangrove mempunyai keragaman biologi yang tinggi, yang anggota-anggotanya telah mampu beradaptasi dengan perubahan salinitasi yang tinggi dan beberapa biotanya memiliki nilai ekonomis tinggi seperti udang, ikan dan kepiting juga mempunyai fungsi ekologis sebagai nursery ground berbagai ikan dan udag (Muchsin, 2000) serta dapat menahan abrasi laut. Hasil studi Paryono T.J dkk (1999), menyebutkan bahwa nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove di Segara Anakan pada tahun 1999 sebesar Rp 140.880.427.700/tahun atau rata-rata Rp 8.188.980/ha/tahun. Demikian juga ekosistem terumbu karang (coral reefs) selain memiliki sumberdaya yag dapat dimanfaatkan untuk konsumsi dan sebagai objek wisata, khususnya wisata selam, juga mempunyai fungsi ekologis antara lain tempat mencari makanan, tepat berkembang biak, tempat asuhan nursery ground, dan tempat memijah (Soedharma, 2000).
Dengan memperhatikan akan arti pentingnya sumberdaya alam pesisir baik untuk masa sekarang dan akan datang yang diiringi dengan masalah degredasi, maka diperlukan upaya pengelolaan sumberdaya yang berlandaskan pada penilaian sumberdaya itu sendiri melalui metodologi valuasi ekonomi. Sehingga kinerja ekonomi yang buruk akibat sistem ekonomi yang salah urus, yang tercermin dari kegagalan kebijakan pemerintah (government failure) terutama campur tangan yang menyebabkan distorsi dalam sistem ekonomi dan teratasi. Valuasi Ekonomi (VE) merupakan komponen penting dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir yang mengikuti perdebatan analisis ekonomi serta lingkungan (economic cum environmental, ECE) yang mengaitkan dimensi-dimensi ekonomi dan ekologi secara terintegratif (ADB dalam Sanim, 1996)

DAFTAR PUSTAKA
1. Airwar, 1994. Peranan Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan. Makalah LokakaiyaKurikulumPWD. Program PascaSarj ana-IPB. Bogor.
2. Azis, I.J. 1994. llmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia.FE- Ul – Jakarta.
3. Fauzi, S. 2000. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir. Materi pada Seminar Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Secara Berkelanjutan. Proyek Kerjasama IPB dengan The Papua New Guinea University of Technology. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
4. Kusumastanto, T. 2000. Perencanaan dan Pengembangan Pulau-Pulau Kecil – Disampaikan pada Lokakarya Pendekataan Penataan Ruang dalam Menunjang Pengembangan Wilayah Pesisir, pantai dan Pulau-pulau Kecil. Dirjen Tata Ruang Pesisir, pantai dan Pulau-pulau Kecil. Ditjen P3K- DPK. Jakarta.
5. Muchsin, I. 2000. Pengelolaan Wilayah Pesisir. Materi pada Seminar Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Secara Berkelanjutan. Proyek Kerjasama IPB dengan The Papua New Guinea University of Technology. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
6. Prijono, T.J., T. Kusumastanto, R. Dahuri, dan D.G. Bengen. 1999. Kajian Ekonomi Pengelolaan Tambak Di kawasan Mangrove Segara Anakan- Cilacap Jateng. Jurnal Pesisir dan Lautan Vol 2 No. 3 PKSPL-IPB. Bogor.
7. Sanin, B. 1996. Teknik Valuasi Ekonomi Sumberdaya dan Jasa-Jasa Lingkungan Wilayah Pesisir. Kerjasama PPLH-LP IPB dengan Dirjen Bangda Depdagri dan ADB. Bogor.
8. Soedharma, D. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang dan padang Larnun. Materi pada Seminar Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Secara Berkelanjutan. Proyek Kerjasama IPB dengan The Papua New Guinea University of Technology. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
9. Turner, R. K. , David Pearce and lan Bateman. 1994. Environmental Economics – An Elementary Introduction. Harvester Wheatsheaf. Campuss 400 Marylands Avenue.

Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut di Teluk Bone

Posted April 26, 2008 by coastaleco
Categories: Makalah

Oleh: Achmad Fahrudin

I. Pendahuluan
Sebagai negara bahari, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan panjang pantai 81.000 km dan 63 % (3,1 juta km2) wilayahnya merupakan perairan laut yang kaya dengan beragam sumberdaya hayati. Sayangnya, ekosistem pesisir dan laut di wilayah industri dan padat penduduk mendapat tekanan serius yang membahayakan kelestariannya. Tekanan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu : (1) eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya hayati, (2) polusi dari aktifitas di darat dan laut, dan (3) degrdasi fisik dari habitat pesisir, terumbu karang, mangrove dan estuaria.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan degradasi ekosistem pesisir dan laut di Indonesia. Salah satu yang terpenting adalah kebanyakan perencana, pembuat keputusan dan pelaksana pembangunan dari sektor publik dan swasta yang kurang memperhatikan strategi dan nilai ekonomi total dari ekosistem tersebut. Umumnya mereka memandang mangrove dan ekosistem pesisir lainnya sebagai lahan marjinal yang harus dikonversi menjadi penggunaan lahan lainnya, seperti kawasan industri, perumahan dan tambak. Dengan kata lain, mereka hanya menilai sebagian kecil barang dan jasa yang dapat diperoleh dari ekosistem pesisir yang disebut nilai penggunaan langsung seperti kayu mangrove dan ikan serta organisme yang secara langsung dapat diambil dari kawasan mangrove. Kenyataannya, ekosistem pesisir, seperti mangrove, memiliki banyak nilai dan fungsi lain yang sangat penting bagi ekosistem pesisir dan laut dimana kelangsungan hidup manusia dan pembangunan bergantung kepadanya.

II. Nilai Ekonomi Beberapa Sumberdaya Pesisir dan Laut
2.1. Hutan Mangrove

Mangrove merupakan ekosistem hutan yang terbentuk oleh tumbuhan halophytic (toleran terhadap salinitas), berkayu dan berbiji dengan kisaran ukuran mulai dari tumbuhan yang tinggi hingga tumbuhan perdu yang kecil. Tumbuhan tersebut memiliki kemampuan untuk tumbuh di sepanjang garis pantai pasang surut yang terlindung pada sedimen bersalinitas dan seringkali bersifat anaerobik serta kadang-kadang bersifat masam.
Terdapat lebih dari 24 juta hektar hutan mangrove yang tersebar di negara-negara sub tropik dan tropik di dunia ini (Snedaker and Getter, 1985). Indonesai memiliki hutan mangrove lebih luas dari negara-negara lain, yaitu sekitar 2,7 juta sampai 4,25 juta hektar. Mangrove menempati bantaran sungai-sungai besar sampai 100 km masuk ke pedalaman seperti yang dijumpai di sepanjang sungai Mahakam dan Musi. Mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dengan 89 spesies yang terdiri dari 35 spesies pohon, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit dan 2 spesies parasitik (Nontji, 1987). Sedangkan pada ekosistem mangrove yang berbeda di seluruh dunia tercatat 60 spesies pohon, beberapa spesies pohon yang berasosiasi dan ribuan spesies mamalia, burung, ikan dan invertebrata (IUCN, 1993).
Mangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif dengan berbagai fungsi ekonomi, sosial dan lingkungan yang penting. Saenger et al (1983) serta Hamilton and Snedaker (1984) telah mengidentifikasi lebih dari 70 nilai pakai langsung dan tak langsung dari tumbuhan mangrove dan ekosistemnya.
Di Indonesia, nilai pakai langsung dari tumbuhan mangrove telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kayu bakar, arang, penyamak kulit, bahan bangunan, peralatan rumah tangga, obat-obatan dan bahan baku untuk industri pulp dan kertas sejak lama (Nontji, 1987). Namun demikian, belum diketahui tingkat produksi kayu bakar di Indonesia. Dinas Kehutanan Riau (1979) melaporkan bahwa dari tahun 1973 sampai 1976 Propinsi Riau mengekspor 7.000 sampai 15.000 m3 kayu bakar mangrove setiap tahunnya, sedangkan Sulawesi Selatan mengekspor 26.339 m3 kayu bakar mangrove pada tahun 1978 (Nurkin, 1979). Lebih dari separuh energi yang dipakai pada rumah tangga diperoleh dari kayu bakar (Martono, 1979), dan di wilayah pesisir kayu bakar tersebut berasal dari hutan mangrove (Polunin, 1983).
Produksi arang dari mangrove dimulai tahun 1870-an di Sumatera dan pada tahun 1979 tingkat produksinya mencapai 41.200 ton atau sekitar US$ 2 juta (Anonimous, 1979). Sejak tahun 1960-an penggunaan mangrove untuk kayu serpihan dan kayu pulp sangat meningkat. Salah satu pabrik di Kaliamantan Timur telah menghasilkan sekitar 70.000 m3 kayu serpihan (Burbridge and Koesoebiono, 1980). Wiroatmodjo dan Judi (1979) melaporkan bahwa produksi kayu bakar sekitar 250.000 m3 per tahun dengan nilai lebih dari US$ 3 juta, dan US$ 1 juta masuk ke kas pemerintah. Pada tahun 1979, kuota resmi untuk ekspor kayu mangrove mencapai lebih dari 500.000 m3 per tahun yang berasal dari konsesi hutan mangrove sekitar 455.000 hektar (Burbridge dan Koesoebiono, 1980). Konsesi hutan mangrove hingga 100 ha diatur dan dikendalikan oleh pemerintah daerah, sedangkan areal konsesi yang lebih luas dikendalikan oleh pemerintah pusat (Polunin, 1983). Sekitar 101.000 ha hutan mengarove di Kalimantan telah menjadi hak konsesi (Wirakusumah dan Sutisna, 1979), sedangkan Pradoso dan Soebardi (1979) melaporkan bahwa pada tahun 1977 lebih dari 36.000 ton log kayu mangrove telah dihasilkan di pulau ini yang dapat memproduksi sekitar 32.000 ton pulp. Statistik ekspor log dan arang mangrove dilaporkan oleh Burbridge dan Koesoebiono (1980) yang menunjukkan peningkatan ekspor arang 33,8 % antara tahun 1972 – 1978.
Jenis Excoecaria agallocha merupakan tumbuhan mangrove yang memberikan hasil pulp yang cukup baik. Selain itu, Camptostemon dan Sonneratia juga dapat menghasilkan pulp yang baik. Di beberapa tempat di Asia Selatan spesies Heritiera dan Rhizophora telah dipakai sebagai sumber serat rayon viskosis (Polunin, 1983).
Nilai pakai langsung lainnya yang penting dari mangrove adalah berbagai organisme akuatik yang beberapa diantaranya memiliki nilai komersial. Daun yang jatuh dan terakumulasi dalam sedimen mangrove sebagai lapisan daun akan mendukung komunitas organisme detritus yang selanjutnya menguraikan daun dan mengkonversinya menjadi energi. Energi ini digunakan oleh seluruh organisme dalam rantai makanan yang mendukung sejumlah spesies komersial dan subsisten seperti udang Penaeid, udang Sergestid, kepiting mangrove, curustacea lainnya, berbagai jenis ikan (belanak, bandeng, baramundi), wideng, kerang, moluska lainnya, reptil laut dan burung. Nontji (1987) melaporkan sekitar 80 spesies crustacea dan 65 spesies moluska yang terdapat pada ekosistem mangrove di Indonesia. Tumbuhan mangrove termasuk batang, akar dan daun yang jatuh menjadikan habitat bagi beberapa spesies akuatik dan beberapa spesies burung. Ekosistem mangrove juga berfungsi sebagai tempat pemeliharaan larva, tempat memijah dan tempat mencari makan bagi spesies akuatik khususnya udang Penaeid dan ikan bandeng. Menurut Levy (1979) sekitar 90 % spesies laut tropis bergantung sebagian atau seluruh daur hidupnya pada ekosistem mangrove.
Nilai terpenting spesies yang berkaitan dengan mangrove Indonesia adalah udang Penaeid yang menghasilkan devisa sebanyak 1,5 trilyun US dolar pada tahun 1995 (Ditjen Perikanan, 1996). Hasil tangkapan udang Penaeid di perairan pesisir Indonesia berkorelasi positif dengan keberdaan mangrove (Martosubroto dan Naamin, 1977). Namun demikian ada beberapa spesies udang yang tidak menunjukkan korelasi tersebut (Mac Nae, 1974). Turner (1975) mengestimasi pengaruh reklamasi lahan mangrove di Segara Anakan terhadap kehilangan ekonomis produksi perikanan di wilayah tersebut sehingga menyebabkan 2.400 nelayan kehilangan pekerjaan dan pendapatan sebesar 5,6 juta US dolar setiap tahun pada harga berlaku.
Nilai tidak langsung dari ekosistem hutan mangrove dalam bentuk fungsi ekologis yang vital mencakup perlindungan erosi pesisir, stabilisator sedimen, perlindungan koral di sekitarnya dari padatan terlarut, perlindungan penggunaan lahan pesisir dari angin dan badai, pencegahan intrusi air asin, pemurnian alami perairan pesisir dari polusi, penyediaan detritus organik dan makanan bagi perairan pesisir sekitarnya serta sebagai tempat pemeliharaan larva, pakan dan pemijahan bagi ikan ekonomis penting, crustacea dan satwa liar. Selain berbagai burung, hutan mangrove juga merupakan habitat penting bagi primata seperti Macaca fascicularis, Presbytis cristacus dan Nasalis larvatus.
Dengan demikian bila pemanfaatan kayu mangrove dikelola berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan yang lestari maka nilai pakai langsungnya akan menjadi sumber pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, baik untuk masyarakat sekitarnya maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.

2.2. Padang Lamun
Padang lamun merupakan tumbuhan berbunga dan berbiji yang telah beradaptasi penuh terhadap perairan laut. Tumbuhan tersebut terdapat di perairan dekat pantai yang dangkal, baik di daerah tropis maupun di daerah temperate. Jumlah jenis tumbuhan lamun yang ditemukan di seluruh dunia sebanyak 50 spesies, 12 spesies diantaranya terdapat di Indonesia.
Nilai pakai langsung ekosistem padang lamun di Indonesia masih sangat terbatas pada perannya sebagai habitat utama dan sumber pakan bagi berbagai ikan besar, crustacea, moluska, reptil laut dan mamalia. Sebagai contoh, Hutomo dan Martosewejo (1977) menemukan 78 spesies ikan dari padang lamun di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, dan Atmadja (1977) melaporkan keberadaan moluska seperti Pinna, Lambis, Strombus dan Cerithium, timun laut seperti Synapta dan Holothuia, dan bintang laut di padang lamun secara umum. Algae epifit juga melimpah dalam ekosistem padang lamun (Atmadja dan Sulistijo, 1978). Selanjutnya, Hutomo dan Martosewejo (1977) mengelompokkan ikan-ikan yang berasosiasi dengan padang lamun di Kepulauan Seribu kedalam 4 kelompok ekologi, yaitu : (1) yang tinggal menetap, (2) yang tinggal menetap tetapi memijah pada habitat di sekitarnya, (3) pengunjung pada saat-saat tertentu, dan (4) spesies yang menetap saat masih juvenil. Kategori yang terakhir mencakup beberapa spesies seperti Siganus, Molloides dan Upeneus yang mempunyai nilai ekonomis tinggi di Indonesia. Beberapa spesies yang menetap termasuk moluska juga penting sebagai bahan makanan.
Tumbuhan lamun sejauh ini belum memiliki nilai ekonomis atau komersial di Indonesia, namun dilaporkan telah dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat pesisir sebagai sumber makanan dan sumber serat (Polunin, 1983). Enhalus acroides sebagai contoh, merupakan penyedia biji yang dikonsumsi masyarakat di Kepulauan Seribu (Nontji, 1987) dan menghasilkan serat yang digunakan di beberapa wilayah pesisir Irian Jaya (Feulleteu de Bruyn, 1920).
Nilai pakai tidak langsung dari ekosistem padang lamun mencakup : (1) fungsinya sebagai stabilisator sedimen yang mencegah erosi pesisir, (2) habitat sejumlah besar spesies satwa liar, dan (3) sumber makanan dan detritus organik yang dibutuhkan tumbuhan laut dan algae sebagaimana binatang.
Struktur kepadatan daun dan sistem perakarannya membuat padang lamun memiliki kemampuan untuk meredam gelombang dan arus sehingga menjebak sedimen dan melindungi erosi (Randall, 1965). Kemampuan tumbuhan lamun untuk mengikat sedimen dangkal tergantung pada spesiesnya. Spesies pionir yang tumbuh cepat adalah Halodule univervis, H. pinifolia dan kemudian Halophila ovalis. Pada kondisi yang sesuai, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Enhalus acroides dan Thalasia hempricii dapat menjadi stabilisator sedimen yang bernilai (den Hartog, 1970). Tumbuhan lamun dapat mengurangi arus dekat dasar sampai 50 % sehingga mampu menahan bahan terlarut dalam kolom air (Zhuang and Chappell, 1990). Proses kolonisasi tumbuhan lamun menyukai dasar halus seperti debu, lumpur dan bahan organik. Hamparan lamun cenderung memiliki lapisan pasir berlumpur yang ditutupi kuarsa pasir cangkang tak berstruktur. Penumpukan sedimen oleh tumbuhan lamun juga dapat mendukung perkembangan karang di tempat yang terlalu keruh untuk pertumbuhannya. Fungsi hubungan padang lamun dengan ekosistem sekitarnya seperti terumbu karang dan hutan mangove harus dipertimbangkan, selain fungsi ekosistemnya sendiri dan nilai pakainya dalam setiap penilaian ekonominya.
Produktifitas primer kotor padang lamun menduduki rangking teratas di antara ekosistem alami yang pernah tercatat (Hatcher et al, 1989). Produktifitas primer ekosistem padang lamun dilaporkan antara 1.300 – 3.000 gram berat kering/m2/tahun (KLH, 1991), bahkan dapat mencapai 7.000 gramC/m2/tahun (Whitten et al, 1987). Karbon organik yang dihasilkan padang lamun melalui fotosistesis sebagian besar (70 – 90 %) digunakan oleh organisme laut pada tingkat trofik yang lebih tinggi melalui rantai makanan detritus dan sisanya melalui rantai langsung (Nienhuis, 1993). Ekosistem padang lamun umunya bersifat mandiri (self-sustaining), energi yang dihasilkan dari padang lamun di Indonesia Timur dikonsumsi sendiri dengan minimum 10 % dikirim ke ekosistem di sekitarnya pada kondisi yang tenang (Hutomo et al, 1988; Nienhuis et al, 1989; Lindeboom dan Sandee, 1989). Dugong, penyu hijau dan ikan Siganus merupakan pemangsa tumbuhan lamun dan rumput laut yang penting. Padang lamun dan habitat di sekitarnya merupakan daerah pakan yang juga penting bagi burung-burung laut (Polunin, 1983).
Nilai pakai langsung ekosistem padang lamun adalah nilai pilihan yang menunjukkan nilai pelestarian fungsi ekosistemnya dan pemakaiannya di masa mendatang, seperti penggunaan tumbuhan lamun untuk produk farmasi baru dan kultivar pertanian. Kenyataannya, di beberapa bagian dunia tumbuhan lamun digunakan sebagai sumber pupuk hijau, bahan kimia dan bahan pakan (Mc Roy and Helffrich, 1980). Sejauh ini belum ada usaha yang dilakukan di Indonesia, mungkin juga di seluruh dunia, untuk mengkuantifikasi dalam bentuk uang (membuat penilaian ekonomi) dari fungsi dan pemakaian sumberdaya padang lamun.

2.3. Terumbu Karang
Indonesia memiliki sekitar 17.500 km2 ekosistem terumbu karang (Moosa, et al, 1987) tersebar di seluruh wilayah perairan pesisir yang jernih, hangat, beroksigen serta bebas dari padatan terlarut dan aliran air tawar yang berlebihan. Terumbu karang Indonesia sangat beragam dan kaya. Seluruh tipe terumbu karang yang mencakup terumbu karang melingkar, terumbu karang penghadang, atol dan bongkahan terumbu karang (fringing reefs, barrier reefs, atoll, patch reefs) terdapat di perairan laut Indonesia.
Terumbu karang menyediakan berbagai pemakaian langsung dan tak langsung yang bermanfaat bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat pesisir. Pemakaian yang paling dominan dan paling bernilai adalah besarnya hasil yang dapat diperoleh dari sumberdaya perikanan laut yang didukung oleh ekosistem terumbu karang dengan estimasi sebesar 5 ton/km2 (Snedaker and Getter, 1985). Hasil ini tak terbatas pada ikan dan crustacea yang sesungguhnya dipanen dari ekosistem terumbu karang tetapi juga mencakup sejumlah besar varitas dan kuantitas organisme yang bergantung pada ekosistem terumbu karang. Potensi panen lestari (MSY) ikan karang di perairan laut Indonesia diduga sebesar 80.082 ton/tahun (Ditjen Perikanan, 1991). Dengan luas areal terumbu karang Indonesia sekitar 17.500 km2 berarti potensi lestari ikan karang di Indonesia 4,57 ton/tahun/km2. Perikanan karang komersial dan subsisten memiliki kontribusi yang nyata terhadap ekonomi Indonesia. Masyarakat pesisir, khususnya yang tinggal di pulau-pulau kecil (Nias, Siberut, Kepulauan Seribu, Taka Bone Rare, Tukang Besi dan Padaido) telah memenfaatkan sumberdaya ikan, rumput laut dan sumberdaya biologis lainnya untuk kehidupannya selama berabad-abad. Selanjutnya di beberapa bagian Indonesia, terumbu karang secara tradisional telah dipakai oleh masyarakat pesisir untuk mendukung kehidupannya dengan memanfaatkan berbagai jenis ikan dan invertebrata lainnya (Burbridge and Maragos, 1985).
Pada dekade terakhir, keindahan alami dan keunikan terumbu karang menarik jutaan turis domestik dan mancanegara untuk datang ke Indonesia. Tempat seperti Pulau Nias, Siberut, Kepulauan Sribu, Bunaken, Taka Bone Rate, Gili Trawangan (Lombok Barat), Seram dan Teluk Cendrawasih yang memiliki keindahan terumbu karang menjadi tujuan utama wisatawan. Nilai ekonomis wisata bahari ini sangat tinggi karena tak hanya menghasilkan devisa tetapi juga efek pengganda lainnya seperti perdagangan lokal dan regional, perniagaan, hotel dan restoran.
Struktur terumbu karang juga melindungi pulau, pantai yang bernilai, dan kawasan industri dari ganasnya gelombang dan badai dan tenaga alami lainnya di laut. Sebagai tambahan, telah dilaporkan bahwa ekosistem terumbu karang memiliki peran utama dalam mengurangi pemanasan global karena fungsinya sebagai penangkap karbon yang besar. Penambangan karang telah didokumentasi sebagai bahan konstruksi, pembuatan jalan, dan produksi kapur di berbagai tempat di Indonesia (Praseno dan Sukarno, 1977; Dahuri, 1991). Dari sudut pandang keanekaragaman hayati dapat dikatakan bahwa trumbu karang merupakan ekosistem yang sangat kompleks yang mendukung banyak kehidupan. Terumbu karang telah diidentifikasi memiliki nilai konservasi yang tinggi seperti hutan hujan karena keragaman biologis, secara estetika menarik, dan memiliki fungsi sebagai cadangan keanekaragaman genetika (Hatcher et al, 1990).

2.4. Estuaria
Tingginya curah hujan, banyaknya sungai, lahan basah pesisir, teluk dan perairan pesisir yang dangkal membuat Indonesia memiliki banyak estuaria. Estuaria yang luas terdapat di Indonesia, khususnya pada daerah yang curah hujannya tinggi dan memiliki lahan pesisir yang landai seperti Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Irian Jaya, dimana daerah terbuka jauh dari massa daratan akan menjadi bagian yang memiliki perbedaan salinitas yang nyata dan beberapa sungai besar mengalirkan air tawarnya ke laut.
Secara fungsional, estuari merupakan badan air yang setengah tertutup dan berhubungan dengan laut terbuka yang airnya diencerkan oleh aliran air tawar. Aliran air pasang dan sungai sangat penting karena membantu pencampuran dan penyebaran hara yang mendorong tingginya laju produktifitas primer dan sekunder. Akibatnya estuari merupakan salah satu ekosistem yang paling produktif sebagai tempat penangkapan ikan yang sangat berharga di Indonesia. Sebagai tambahan, banyak spesies yang menghabiskan sebagian siklus hidupnya di air tawar dan air asin menggunakan estuari sebagai jalur perpindahannya. Oleh karena itu, estuari sebagai tempat utama pemeliharaan larva, post larva dan juvenil dari banyak spesies ikan dan kerang. Doty et al (1963) melaporkan adanya kenaikan produktifitas primer dari perairan terbuka 20 km dari pesisir ke estuari Sungai Deli di Sumatera Utara. Di daerah estuari hilir di Palembang, Sumatera Selatan, sepertiga dari pendapatan keluarga setempat diperoleh dari perikanan estuari (Hanson and Koesoebiono, 1979). Hutomo (1978) menemukan 80 spesies ikan yang ditangkap dengan jaring di estuari Sungai Karang, Jawa, diantaranya (Euthynus, Scomberomerus, Ratrelliger, Caranx, Caesio, dan Stolephorus) merupakan ekonomis penting. Enam spesies ikan estuari terdaftar memiliki nilai ekonomis tinggi di Indonesia, yaitu ikan Hilsa toly, Hilsa elongata, Setipinna tatty, dan Lutjanus lutjanus, Lates calcalifer, Arius thalassinus (Anonimous, 1979; Hadikoesworo, 1977). Dari kelimpahan juvenil hasil tangkapan di estuari menunjukkan bahwa estuari adalah tempat rekrutmen penting bagi populasi ikan bernilai (Hutomo, 1978). Effendi dan Syafei (1976) menemukan tempat reproduksi Mugil dussumeri di estuari Sungai Cimanuk, Jawa Barat.
Banyak sumberdaya perikanan Indonesia yang penting berada atau berasosiasi dengan estuari. Perikanan estuari yang produktif merupakan salah satu faktor yang memberikan sumbangan kesesuaian antara delta sungai dan wilayah di sekitarnya bagi pemukiman penduduk (Anwar, 1977). Perairannya yang setengah tertutup dan tinggi produktifitasnya, menyebabkan estuari mampu menopang kehidupan manusia secara lestari, khususnya sebagai sumber pangan dan produksi garam di Indonesia selama berabad-abad. Selanjutnya, estuari Indonesia saat ini digunakan untuk navigasi, budidaya laut, rekreasi, pengembangan pemukiman, dan pembuangan limbah. Selain nilai pakai langsung tersebut, estuari saat ini dikeringkan untuk produksi pertanian seperti di Segara Anakan, Cilacap.

III. Teori Nilai Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut
Nilai ekonomi total (total economic value = TEV) dari sumberdaya sebagai asset merupakan jumlah dari nilai pakai (use value=UV) dan nilai bukan pemakaian (non use value=NUV) (Pearce and Morran, 1994 dan Barton, 1994). Nilai pakai adalah suatu nilai yang timbul dari pemanfaatan aktual terhadap sumberdaya yang terdapat dalam ekosistem.
Nilai pakai terbagi menjadi nilai pakai langsung (direct use value=DUV), nilai pakai tidak langsung (indirect use value=IUV) dan nilai pilihan (option value=OV). Nilai pakai langsung merupakan nilai penggunaan aktual seperti penggunaan perikanan dan kayu dari ekosistem hutan mangrove. Nilai pakai tidak langsung merupakan manfaat yang diturunkan dari fungsi ekosistem seperti fungsi hutan mangrove dalam perlindungan lahan pesisir dari erosi dan dalam penyediaan pakan bagi perikanan lepas pantai.
Nilai pilihan adalah nilai yang menunjukkan keinginan individu untuk membayar bagi konservasi sumberdaya pesisir dan laut guna pemakaian masa mendatang seperti pengembangan bahan farmasi dan kultivar pertanian baru. Dengan kata lain, nilai pilihan dapat diartikan sebegai premi asuransi dimana keinginan masyarakat untuk membayar guna menjamin pemanfaatan masa mendatang dari sumberdaya pesisir dan laut (UNEP, 1993).
Nilai bukan pemakaian terdiri dari nilai waris (bequest value=BV) dan nilai eksistensi (existence value=EV). Nilai waris mengukur manfaat individual dari pengetahuan bahwa orang lain akan memperoleh manfaat dari sumberdaya pesisir dan laut di masa mendatang. Nilai eksistensi menggambarkan keinginan masyarakat untuk membayar konservasi sumberdaya pesisir dan laut itu sendiri tanpa mempedulikan nilai pakainya. Contoh nilai eksistensi sumberdaya pesisir dan laut adalah kepedulian individu terhadap perlindungan koral biru atau ikan napoleon meskipun ia tidak melihat dan tak akan pernah melihatnya (Randall and Stoll, 1983).

3.1. Prosedur Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut
Pada dasarnya penilaian ekonomi sumberdaya pesisir dan laut meliputi 3 tahap utama, yaitu : (1) identifikasi manfaat dan fungsi keterkaitan antar komponen sumberdaya pesisir dan laut, (2) kuantifikasi seluruh manfaat dan fungsi tersebut ke dalam nilai uang, dan (3) penilaian alternatif alokasi pemanfaatan lahan pesisir.

1) Identifikasi Manfaat
Contoh valuasi ekonomi hutan mangrove digunakan dalam pembahasan ini untuk lebih memudahkan pemahaman.
a. Manfaat Langsung
Manfaat langsung dari hutan mangrove dapat berupa manfaat untuk kayu log, manfaat untuk kayu bakar, dan manfaat biologis. Manfaat biologis adalah manfaat lahan yang berhutan mangrove bagi komponen sumberdaya lainnya yang berada pada lahan tersebut sebagai satu kesatuan ekosistem. Manfaat ini merupakan gambaran dari fungsi keterkaitan antar komponen sumberdaya dalam satu ekosistem. Manfaat ini antra lain terdiri dari manfaat biologis bagi belut, manfaat biologis bagi udang, manfaat biologis bagi alur, manfaat biologis bagi kerang, manfaat biologis bagi kepiting, manfaat biologis bagi wideng, manfaat biologis bagi burung, manfaat biologis bagi ikan, dan manfaat biologis bagi ular.

b. Manfaat Tidak Langsung
Estimasi manfaat hutan mangrove sebagai penahan abrasi pantai didekati dengan pembuatan beton pantai yang setara dengan fungsi hutan mangrove sebagai sebagai penahan abrasi pantai. Estimasi manfaat hutan mangrove sebagai nursery ground, spawning ground dan feeding ground bagi biota perairan didekati dari hasil tangkapan ikan di wilayah perairan laut sekitarnya. penyebaran manfaat yang sebanding dengan luas hutan mangrove.

c. Manfaat Pilihan
Nilai manfaat pilihan adalah suatu nilai yang menunjukkan kesediaan seseorang individu untuk membayar untuk melestarikan sumberdaya bagi pemanfaatan di masa depan. Nilai manfaat pilihan (option value) didekati dengan mengacu pada nilai keanekaragaman hayati hutan mangrove Indonesia yaitu US$ 1,500/km2 per tahun. Nilai ini dapat dipakai untuk hutan mangrove di berbagai daerah di Indonesia bila hutan mangrovenya secara ekologis penting dan tetap dipelihara relatif alami (Ruitenbeek, 1991).

d. Manfaat Eksistensi
Manfaat eksistensi adalah manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dari keberadaan sumberdaya setelah manfaat lainnya dihilangkan dari analisis sehingga nilainya (existence value) merupakan nilai ekonomis keberadaan suatu komponen sumberdaya.

2) Kuantifikasi Seluruh Manfaat dan Fungsi ke dalam Nilai Uang
Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) merupakan penjumlahan dari seluruh manfaat yang telah diidentifikasi, yaitu : NET = ML + ME + MP + MK, dimana NET = nilai ekonomi total (TEV), ML = nilai manfaat langsung (DUV), ME = nilai manfaat tidak langsung (IUV), MP = nilai manfaat pilihan (OV), dan MK = nilai manfaat keberadaan (XV).

3) Penilaian Alternatif Alokasi Pemanfaatan Lahan Pesisir
Penilaian alternatif alokasi pemanfaatan terumbu karang dengan menggunakan Cost-Benefit Analysis (CBA), yang merupakan net present value dengan menghitung manfaat yang diperoleh dari penggunaan terumbu karang, termasuk manfaat eksternalitas, dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh manfaat dari penggunaan terumbu karang, termasuk biaya eksternalitas, dalam kurun waktu tertentu serta mempertimbangkan faktor diskonto (discount rate).

III. Studi Kasus Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut
3.1. Mangrove Subang

Luas hutan mangrove di Kabupaten Subang 5.328,60 ha yang hampir separuhnya (2.650,08 ha) masih berupa hutan alam yang dipertahankan dan selebihnya (2.678,52 ha) berupa hutan tanaman hasil reboisasi sejak tahun 1976. Sejak tahun 1968 sebagian areal hutan dimanfaatkan untuk tambak ikan dengan pola tumpangsari dan pada tahun 1986 sistem tambak tumpangsari diterapkan pada seluruh areal hutan mangrove dengan ketentuan luas kolom air untuk budidaya ikan tidak melebihi 20 % dari luas petak hutan.
Vegetasi yang terdapat pada hutan mangrove subang tercatat 6 jenis pohon dan 18 jenis tumbuhan bawah yang didominasi oleh spesies Avicenia marina, Rhizopora mucronata dan Sonneratia acida. Fauna yang ditemukan terdiri dari 1 jenis mamalia, 3 jenis reptilia, 1 jenis amphibia, 11 jenis ikan, 6 jenis crustacea, 32 jenis serangga, 25 jenis burung serta beberapa jenis bivalva.
Berdasarkan hasil penelitian tahun 1996, nilai pakai langsung dari hutan mangrove tersebut yang terdiri dari kayu bakar, kayu bulat, alur (sejenis sayuran), udang, ikan, kepiting, wideng, kerang, belut, ular dan burung dengan nilai keseluruhan mencapai jumlah Rp 15.187..168.109,31/tahun. Biaya untuk memperoleh nilai pakai langsung tersebut Rp 2.676.831.048,65/tahun sehingga manfaat bersihnya Rp 12.501.337.060,66 per tahun (termasuk untuk tambak tumpangsari).
Nilai pakai tidak langsung dari mangrove dalam bentuk fungsi perlindungan lahan pesisir dari erosi dan badai serta aliran makanan dan bahan organik bagi perikanan di sekitar wilayah pesisir. Penilaian fungsi perlindungan lahan pesisir diperoleh dengan harga bayangan, yaitu biaya pembuatan beton pemagar pantai sepanjang 32,25 km dengan nilai Rp 96.750.000.000,00 untuk 10 tahun atau Rp 9.675.000.000,00/tahun. Nilai penyediaan bahan organik diperoleh dari hasil ikan tangkapan nelayan di perairan laut sekitarnya, yaitu Rp 13.956.194.000,00 dengan biaya Rp 1.542.450.000,00 sehingga manfaat bersihnya Rp 12.413.744.000,00.
Nilai pilihan dari hutan mangrove diperoleh dalam bentuk nilai sebagai wadah keanekaragaman hayati yang dikemukakan oleh Ruitenbeek (1992) yaitu US$ 1,500/km2 per tahun. Nilai eksistensi diperoleh dengan teknik contingent valuation method (CVM) dari 139 responden yang hasilnya menunjukkan nilai rata-rata Rp 6.291.000,00/ha/tahun sehingga nilai eksistensi hutan mangrove Subang seluruhnya Rp 33.522.259.900,00/tahun. Berdasarkan hasil seluruh perhitungan di atas diperoleh nilai hutan mangrove rata-rata sebesar Rp 6.928.135,16/ha/tahun.
Analisis manfaat biaya (Cost Benefit Analysis) dilakukan untuk menghitung nilai ekonomi hutan mangrove dengan berbagai skenario pengelolaan, yaitu 100 % hutan mangrove tumpangsari (silvofishery), 25 % hutan mangrove dikonversi untuk tambak udang intensif, 50 % dikonversi jadi tambak intensif, 75 % dikonversi jadi tambak intensif, 100 % dikonversi jadi tambak intensif dan 100 % dikonversi jadi tambak sederhana serta dibiarkan pada kondisi saat itu. Lingkup waktu analisis selama 20 tahun berdasarkan umur mangrove untuk dapat menghasilkan kayu bulat dengan diskonto (discount rate) 10 %.
Nilai manfaat bersih sekarang (net present value) yang paling besar adalah Rp 4.454.689.419.324,59, yaitu pada alokasi pemanfaatan lahan 25% untuk tambak intensif atau 3.420,72 ha untuk tambak intensif dan 10.262,16 untuk hutan mangrove dengan pola tumpangsari. Alokasi pemanfaatan hutan mangrove di Subang yang paling efisien adalah 100 % dijadikan hutan mangrove dengan pola tumpangsari karena rasio manfaat biayanya (B/C) paling besar (7,47). Pemanfaatan 100 % untuk hutan mangrove dengan pola tumpangsari menghasilkan nilai sekarang bersih sebesar Rp 1.748.707.447.744,27 dengan B/C sebesar 7,47. Bila dibandingkan dengan pemanfaatan untuk 25% tambak intensif, maka rasio manfaat biayanya lebih besar 1,88 kali tetapi nilai manfaatnya lebih kecil 2,55 kali. Bila dibandingkan dengan pemanfaatan untuk 50 % tambak intensif, maka rasio manfaat biayanya lebih besar 2,55 kali dan nilai manfaatnya lebih kecil 2,53 kali.
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa proporsi penggunaan hutan mangrove untuk tambak intensif yang relatif baik adalah sekitar 25 % dari total luas hutan mengrove. Bila proporsi pemanfaatan untuk tambak intensif lebih besar dari 50 % luas hutan mangrove, maka manfaat relatif yang diperoleh akan lebih kecil daripada pemanfaatan untuk hutan mangrove dengan pola tumpangsari.

3.2. Terumbu Karang Taka Bone Rate
Terumbu karang Taka Bone Rate (TBR) merupakan gugusan atol yang terletak di sebelah Selatan pulau Sulawesi atau di sebelah Utara pulau Flores tetapi masih masuk ke dalam administratif Propinsi Sulawesi Selatan. Atol ini merupakan atol terbesar di Indonesia dan ketiga terbesar di dunia. Luas atol ini sekitar 220.000 ha dan mempunyai terumbu karang yang datar seluas 500 km2.
Kedalaman dataran terumbu karang berbeda-beda mulai dari atas permukaan air surut sampai 3 meter. Di dalam atol terdapat karang tepi, petak karang, atol mikro dan terumbu karang penghadang. Jumlah terumbu karang sebanyak 21 dengan 9 sand cays dan 11 pulau, 6 pulau diantaranya dihuni oleh penduduk secara permanen dalam 2 desa, yaitu Desa Rajuni (sebelah Utara) dan Desa Pasitalu (sebelah Selatan). Jumlah penghuni pulau-pulau tersebut sekitar 9.000 jiwa dimana lebih dari 90 % bekerja sebagai nelayan penangkap ikan di sekitar atol tersebut.
Jenis ikan yang terdapat pada atol TBR antara lain cakalang, hiu, tongkol, kerapu, bambangan, lemuru, layang, baronang, ekor kuning, bawal dan ikan kakatua. Selain itu tertangkap pula lobster, penyu hijau, penyu sisik, gurita dan teripang.
Nilai pakai langsung dari terumbu karang di daerah ini adalah berbagai jenis ikan dari hasil kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan. Alat tangkap yang digunakan adalah bagan perahu, jaring insang, pancing ulur dan bubu.
Analisis manfaat biaya dilakukan dengan 3 skenario, yaitu tanpa perubahan (status quo), tanpa pengelolaan (dibiarkan sesuai dengan kecenderungan perkembangan pemanfaatannya) dan dengan pengelolaan (pembatasan jumlah alat tangkap) . Lingkup waktu penilaian adalah 20 tahun dengan discount factor 10 % dan 20 %. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan pengelolaan penangkapan ikan yang baik nilai manfaat bersih sekrang akan meningkat dan menunjukkan nilai yang paling besar bila dibandingkan dengan keadaan status quo ataupun tanpa pengelolaan (Sawyer, 1992).

IV. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut dalam Kaitannya dengan Peningkatan Pendapatan Masyarakat Pesisir dan PAD

Berdasarkan studi kasus yang telah diuraikan di atas terlihat bahwa pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut akan meningkatkan nilai ekonominya dalam jangka panjang. Ini berarti dengan teknik pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan akan diperoleh nilai ekonomi total yang relatif lebih besar bila dibandingkan pemanfaatan sumberdaya yang tidak terkendali.
Distribusi penguasaan sumberdaya pesisir dan laut yang seimbang pada masyarakat ditambah dengan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang cara pemanfaatan sumberdaya yang lestari, akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Demikian pula dengan PAD (pendapatan asli daerah) yang akan meningkat dan berkelanjutan seiring dengan peningkatan nilai ekonomi total dari sumberdaya pesisir dan lautan.
Hal yang sama juga dapat diterapkan di wilayah pesisir Teluk Bone. Upaya pengendalian pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan di Teluk Bone akan meningkatkan nilai ekonomi total dari sumberdaya tersebut. Oleh karena itu, langkah-langkah yang berupa pengaturan pemanfaatan sumberdaya dan transfer informasi mengenai teknik pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan kepada semua stakeholder di wilayah Teluk Bone sangat diperlukan.

Daftar Pustaka
1. Atmadja, W. S. 1977. Marine Resources Indonesia, 17 : 15-27.
2. Atmadja W. S. and Sulistijo. 1977. Oseanologi di Indonesia, 10 : 9-13.
3. Barton, D. N. 1994. Economic Factors and Valuation of Tropical Coastal Resources. SMR-report 14/94. Center for Studies of Environment and Resources, University of Bergen. Norway.
4. Burbridge P. R. and J. E. Maragos. 1985. Coastal Resources Management and Environmental Assessment Needs for Aquatic Resources Development in Indonesia. International Institute for Environment and Development. Washington D. C.
5. Dahuri, R. 1991. An Approach to Coastal Resources Utilization : The Nature and Role of Sustainable Development in East Kalimantan Coastal Zone, Indonesia. Ph.D. Dissertation. Dalhouise University, Halifax N. S., Canada.
6. Dahuri et al. 1995. Studi Pengembangan Kebijakan Ekonomi Lingkungan: Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Perairan Terbuka di Kabupaten Pemalang dan Pulau Madura. Kerjasama PPLH-IPB dengan Kantor Meneg LH.
7. Den Hartog, C. 1970. Seagrasses of The World Elsevier. North Holland. Amsterdam.
8. Direktorat Jenderal Perikanan. 1991. Laporan Tahunan. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian RI. Jakarta.
9. Dixon, J. A. dan M. M. Hufschmidt. 1991. Teknik Penilaian Ekonomi terhadap Lingkungan. Suatu Buku Kerja Studi Kasus. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
10. Hodgson, G. and J. A. Dixon. 1988. Logging versus Fisheries and Tourism in Palawan. East-West Environment and Policy Institute Occasional Paper No. 7. East-West Center. USA.
11. Hufschmidt, M. M., D. E. James, A. D. Meister, B. T. Brower and J. A. Dixon. 1983. Environment, Natural Systems, and Development – An Economic Valuation Guide. 3rd edition. John Hopkins Univ. Press. Baltimore. USA.
12. Fahrudin, Achmad. 1996. Analisis Ekonomi Lahan Pesisir Kabupaten Subang, Jawa Barat. Lembaga Penelitian IPB. Bogor.
13. Hamilton, L. S. and S. C. Snedaker. 1984. Mangrove Area Management Handbook. Environment and Policy Institute, East-West Center. Hawaii.
14. Hatcher et al. 1989. Review of Research Relevant to The Conservation of Shallow Tropical Marine Ecosystem. Oceanography dan Marine Biology Annual Review. 27: 337-414.
15. Hutomo M, et al. 1988. The Status of Seagrass Ecosystem in Indonesia. Research, Problems and Management. Paper Presented at SEAGREM I. Manila, Januari 17-22, 1988.
16. IUCN. 1993. Oil and Gas Exploration and Production in Mangrove Areas. Guidlines for Environmental Protection. IUCN, Gland, Switzerland.
17. KLH. 1991. Kualitas Lingkungan Indonesia 1991. Kantor Meneg LH RI. Jakarta.
18. Lindeboom, H. J. and J. J. Sandee. 1989. Production and Consumption of Tropical Seagrass Fields in Easterm Indonesia. Measured with Bell Jars and Microelectrodes. Netherland Journal of Sea Research. 23: 181-190.
19. Mann, K. H. 1982. Ecology of Coastal Waters: A System Approach. Blackwell Scientific Publ. Univ. of Calif. Press, Los Angeles.
20. Pearce, D, W., A. Markandya and E. B. Barbier. 1990. Blueprint for A Green Economy. Earthscan Publication Ltd. London.
21. Pearce, D. W. and R. K. Turner. 1990. Economics of Natural Resources and The Environment. Harvester Wheatsheaf. London.
22. Pearce, D. W. and D. Morran. 1994. The Economic Value of Biodiversity. Earthscan Publication Ltd. London.
23. Ruitenbeek, H. J. 1991. Mangrove Management : An Economic Analysis of Management Options with A Focus on Bintuni Bay, Irian Jaya. Environmental Management Development in Indonesia Project (EMDI). EMDI Environmental Reports No. 8. Jakarta
24. Sumardjani, L. 1993. Pembangunan Hutan Tanaman Industri Mangrove di PT. Ciptamas Bumisubur, Air Sugihan, Sumatera Selatan. Bulletin Instiper Volume 4 Nomor 2 Tahun 1993. Yogyakarta.
25. Soemodihardjo, S., A. Nontji dan A. Djamali (Ed). 1979. Prosiding Seminar Ekosistem Mangrove. Lembaga Oseanologi Nasional. Jakarta. p. 176-185.

Why investment in social capital yet to bear achievement in coral reef management in local setting?

Posted April 26, 2008 by coastaleco
Categories: Jurnal

By: Budiati Prasetiamartati, Akhmad Fauzi, Rokhmin Dahuri, Achmad Fahrudin, Hellmuth Lange

Abstract
Social capital is trust, norms of reciprocity, and networks that facilitate the formation of collective action and institution. Social capital is proposed to support local-level development as well as natural resource management, including alleviating problems associated with common-pool resources. Following this concept, this study tries to seek whether investment in social capital, which include promotion on stakeholder conferences, the training of community leaders, and support for fishing organizations, can promote collective action and self-governance institution of resource use in coral reef ecosystem at local level. Coral reef ecosystem in South Sulawesi has been pressured by reef-related fishing activities, which include destructive practices of blast and poison fishing. The study is done in four selected small islands situated in Taka Bonerate Marine National Park and Spermonde Archipelago. These islands had been underwent a process of social capital investment. Findings suggest that local rules or institutions to govern coral reef management are not yet endured. This occurs because fishers are not able to overcome collective action dilemmas, including problems of credible commitment, of monitoring individual compliance, and of institution supply. It concludes that these problems can only be addressed when some important aspects of local self-governance are being met. Only then such investment in social capital can succeed.

Introduction
Ocean and its entrenched resources such as fishery and coral reefs are categorized as commons. This resource shares two characteristics: (1) it is highly costly or impossible to exclude potential users from access to and appropriate the resource; and (2) the resource unit appropriation will subtract the resource stock available. Due to these characteristics, commons is confronted with problems of free-rider and of overuse. This situation is called “tragedy of the commons” by Hardin (1968), which occur when the resource is characterized by open access.
As a result, all efforts to organize collective action, whether by external rulers or fishers themselves, and wish to gain collective benefits, must address a common set of problems. These problems have to do with coping with free-riding, solving commitment problems, arranging for the supply of new institutions, and monitoring individual compliance with sets of rules (Ostrom 1990). Regardless of who governs a particular common-pool resource, it is essential to regulate at least two broad aspects: access to the resources and rules governing resource use (Ostrom 1990, Feeny et al 1990, Pomeroy and Berkes 1997, Dolšak and Ostrom 2003). Likewise, many empirical studies show that common-pool resources can be used and managed sustainably by the resource users themselves (Berkes 1985, Ostrom 1990).
Resource use depends on various groups of factors. An institutional analytical framework to analyze factors affecting resource use is proposed by Dolšak and Ostrom (2003:10). The use of coral reef resource is affected by formal and informal institutions governing its use. Formal institution includes government laws and rules, and their enforcement. Alternatively, informal institution is usually characterized by non-written rules or code of conducts accepted by a specific group of people. The establishment and endurance of an institution is affected by the characteristics of resource system and of resource users or fisher communities.
Moreover, trust, shared norms, and norms of reciprocity are important for the establishment of institutional arrangements. Shared norms can reduce the cost of monitoring and sanctioning (Ostrom 1990). Trust makes social life predictable, while it creates a sense of community, and it makes it easier for people to work together (Folke et al. 2005). These features are known as social capital that is important to lubricate or facilitate cooperation among individuals to develop and implement rules or institutions, and resolve collective action problems that are needed to manage natural resources in a sustainable way (Ostrom 1990, Agrawal 2001).
Investment in social capital has been promoted along with a growing urgency on collaborative management in coral reef management. Social capital is built by investing in social relationships, and the network that emerges can either focus on horizontal or vertical collaboration (Folke et al. 2005). Likewise, social capital investments might include expenditures on stakeholder conferences, the training of community leaders, and support for fishing organizations (Isham 2001).
Following this emerging perspective, social capital investment have been promoted in small islands in South Sulawesi, with objectives to improve the capacity of local fishers and community members on issues related with coral reefs conservation and environmentally-friendly fishing practices. This study investigates to what extent investment in social capital of fisher communities can alleviate problems associated with common-pool resources, with respect to coral reefs, and succeed in promoting durable institution to govern the resource.

Method
This study uses an institutional approach. This approach assumes that individuals trying to solve problems as effectively as they can. Resource users, i.e. fishers, in many settings are strongly motivated to find better solutions to their problems if they can. Their economic livelihood depends on their creativity in solving individual and joint problems (Ostrom 1990).
It compares four selected case studies and assesses the institutions used in successful and unsuccessful cases, and tries to identify important factors that can impede or enhance the capabilities of fishers to use and govern coral reef ecosystem. “Successful” refers to outcome, namely the situation of resource use, which is influenced by the institutions governing resource use. This study defines outcome as the protection of community marine sanctuary and the number of blast and poison fishing.
Based on an initial field data collection in 2004, the study determined successful and unsuccessful cases of fisher communities that have experienced investment in social capital. Successful means that blast and poison fishing was limited. The boundary of study is island residents, so that the measurement of blast and poison fishing is those that are carried out by island residents. Notice that none or only limited fishers in Kapoposang that practice them, thus is regarded as “successful”. Nevertheless such practices flourish in Kapoposang marine area, but are carried out by outsiders.

Activities of social capital investment included convening community and fisher meetings, raising environmental awareness, training of fishers and local leaders, promoting credit union, introducing mariculture and other income generating activities, establishing marine sanctuary, initiating community monitoring. They activities are regarded as building social capital, because they were disseminating particular norms, as well as promoting relationships among fishers, and between fishers and other stakeholders. Regular engagements can build norms of reciprocity and trust.
The analysis uses empirical data, collected in 2004 and 2005, by way of field observation and semi-structured interviews to fishermen, local leaders, village chiefs, field facilitators of the external assistance, park rangers, related government officials in national, provincial and regency/ city level. A qualitative analysis is sought in answering the following questions: What rules or institution established by local fishers prior to the investment in social capital? To what extent the investment in social capital contributes to alleviating collective action problems in govern coral reef use? What is the limitation of assigning local rules in coral reef governance?

Results and Discussions
The following discussion covers the extent fishers are able to reduce collective action problems in reef fishery. Free-riding is a pervasive issue, consequently fishers who want to achieve sustainable use of this resource over the long run, where their livelihoods dependent upon, need to arrange an institution to govern its resource use.

Fishers’ Institutions in Managing Coral Reef Ecosystem
Informal fishing rules are endorsed in the community studied and exists without any support from external assistance. These rules are in place to overcome incompatible fishing gears used in specific fishing grounds (Schlager and Ostrom 1993, Ostrom et al 1994, Bavinck 2001). Blast and poison fishing, as well as purse seine (gae), trammel net (bagang rambo), bottom gill net (lanra), and bottom lampara (rere) are regarded as modern-type gears and incompatible with other more traditional gears, such as hand lining and nets. In addition, fishers devise rules on specific coastal area such as area adjacent to their resident island.

Each island has been experienced different process of social capital investment, which is somehow related with the status of the area. Rajuni Besar and Tarupa are situated in Taka Bonerate Atoll that was assigned as a national marine park since 1992. Similarly, Kapoposang was designated as a national tourism park since 1996. They are different from Barrang Caddi that is not assigned by any national institutional arrangements.

In these islands, the external assistance had facilitated stakeholder meetings, training of community leaders, and support for fishing organizations. The objective was to improve environmental awareness towards marine and coral reef ecosystem and to promote self-governance and local institution by community members. Local governance in coral reef management can be observed from some variables, namely the existence of local rules and sanctions towards conservation norms on coral reef ecosystem. Local rules had been established included managing marine sanctuary and prohibiting destructive resource use i.e. poison fishing, blast fishing, and coral taking.

However, compliance to follow rules was not fully achieved. In all islands, compliance to protect and manage community marine sanctuary is halted when the external assistance is no longer present. The same situation appeared on the compliance towards prohibition of blast and poison fishing, particularly in Rajuni Besar and Tarupa. During the period of external assistance, the destructive fishing practices in both islands were restricted. But, these practices are back to flourish when external assistance is stopped.

Problems in Managing Common-Pool Resource of Coral Reef Ecosystem
The above situation shows that the presence of external assistance is significant for fishers to conform conservation rules. It needs further explanation on why rules or institutions governing reef resource use are not persistently maintained by fishers. Ostrom (1990) that an institution to govern common-pool resource needs to be able to tackle a couple of issues: (1) overcome commitment problems among resource users, and (2) monitoring individual compliance with sets of rules established.

The problem of credible commitment
In all common-pool resource situations, including in inshore fishery where coral reef ecosystem situated, rules on resource use can only be maintained when resource users are confident that others follow the same rule. This is termed as the problem of credible commitment. Credible commitment is important to enforce rules and can be sustained when there are mutual trust and norms of reciprocity among fishers.
Norms of reciprocity and trust can be developed through long-term engagement, such as regular communication and regular gathering in a community setting (Coleman 1990, Putnam 1993, Ostrom 1990). Trust facilitates cooperation through norms of reciprocity. In a community setting, interactions are iterative and the capacity for reciprocity and threats can often produce conditions necessary for cooperation (Longo 1999, Runge 1992). This can result in the establishment of institutions or rules.
Nevertheless, local rules on marine sanctuary and prohibition of destructive fishing that have been promoted by local fishers are no longer in effect when the external assistance is left. One reason is because credible commitment among fishers is not established. These rules were established by resident fishers, who interact with other fishers who do not conform the same rules or norms. Thus, norms of reciprocity are hard to achieve. It may not be achieved among resident fishers themselves, where one part of fishers residing in the same island is practicing destructive fishing, while the other parts are not. Moreover, it is hardly achieved when resident fishers receiving external assistance interact regularly with other fishers who did not receive external assistance.
Credible commitment and norms of reciprocity can be delivered when there is a boundary of resource, thus resource can only be appropriated by defined members applying and convicting to the same rules. This is the first and foremost principle proposed by Ostrom (1990) to govern long-enduring common-pool resources. Additionally, credible commitment is endured when monitoring is carried out.

The problem of monitoring individual compliance
Monitoring is required in order to achieve credible commitment. Only when fishers are monitored by other fishers, they oblige to conform to the agreed local rules, and then opt not to conduct any breach of rules. However, monitoring activities and actions prohibiting infringements depend on the assessment of cost and benefits perceived by the monitors, who are fishers themselves.
1. Benefit of monitoring
Benefits of protected coral reefs are difficult to be restricted, because resource boundaries are indistinct and any fishers can generally enter the resource. Thus, when coral reef ecosystem is in good condition, because some people are monitoring against any destructive activities, then this benefit can also be seized by other fishers. In short, monitoring activities mean supplying a public good, thus everybody prefers to become free rider, expecting that others will contribute to its supply, while (s)he reap the benefits.
In addition, perception towards resources is important. There exists uncertainty regarding resource stock and the way resources are used. Benefits of monitoring and prohibiting destructive fishing practices are unknowledgeable by most fishers, who assert that resource stocks is not affected by blast or poison fishing. The same occurs in managing community sanctuary. The improvement of coral reef ecosystem due to the protection of marine sanctuary is not easily tangible and only occurs after a long time (Fox et al. 2003a and 2003b). It entails biological aspects in which local people have limited knowledge, and the support from the external assistance for these communities to distinguish the biological benefits is minimal.
2. Cost of monitoring
Monitoring entails costs – such as time and resources – which only bear to fishers or community members who monitor. Likewise, it may include social cost, such as rejection or even violent tension from the blast or poison fishers. This tension might be developed into discredit or threats against those who forbid the practice. Consequently, many fishers prefer not to prohibit rather than worsening social cohesion. Briefly, the cost to monitor is higher when norms of reciprocity and sanctions are not well established, as happens in these studied islands.
Sanction is required for rules compliance. This means that the monitors need to devote time and resources, in order to follow a kind of sanctioning process. Because a formal sanctioning process must be followed, then they must report to officers – namely police, park rangers, or field officers (babinsa or binmas) – and may later become a witness. This entails another cost for the monitors.
The process of formal law enforcement against lawbreaker is cumbersome, complex, and rarely reliable, because of some constraints, namely: (1) difficulty to obtain complete evidence in order to verdict offender; (2) rent-seeking behavior of officers, who receive bribes from offenders by disregarding enforcement rules. Moreover, informal sanctions were rarely imposed. It had been performed in Kapoposang, Rajuni Besar and Tarupa, by way of making declaration or confiscation of fishing boat; but in Rajuni Besar and Tarupa it was only carried out during the period of external assistance.
Due to the fact that only formal sanction can be performed, fishers only avoid practicing destructive fishing when formal monitoring presents and disregard monitoring of other fishers. Thus, destructive fishing is still largely regarded as a breach of formal law, but not of informal or social rules. However, exception appears in some fishing grounds where fisher rules are in place such as only to fish by hand lining.

Local institution: why it does not last longer?
Above analysis clarifies on how credible commitment and monitoring individual compliance to follow informal or social rules are yet to achieve in these communities. Informal rules on conservation were in place only when the external assistance was present. This issue relates to the problem of institution supply in the community level. A rigorous institution might be endured for a long time to address problems arise in a community. But stable institutions governing coral reef use are not established in these islands. The establishment of informal rule or institution is promoted by outside actors, and not sustained for a long term. It can be clarified by the fact that factors significant in establishing institution to govern a common-pool resource, are not provided, as explained below.
1. Discount rate: perception on future resource stock
It is important to notice how fishers perceive future resource stock, i.e. coral reefs and fish stock. Resource users tend to take benefits from resources at present time, and care less for the future. It is because “[i]ndividuals attribute less value to benefits that they expect to receive in the distant future, and more value to those expected in the immediate future” (Ostrom 1990:34). It means that fishers discount future benefits. When users perceive low discount rate, they will likely to manage resource for long-term benefit. Conversely, when it is high, users have normally less consideration on future benefit. The level of discount rate of resource users depend on the resource characteristics utilized or accessed by fishers.
In the fisher communities studied, fishing grounds are indefinite and vast, due to open access nature of the resource, except on locations where fishing rights prevail. Mobile fishers can go to different fishing grounds where the old ones are no longer rewarding. It means the discount rate is high. In addition, resource abundance is significant in affecting resource user’s perception and decision. When resource stock is abundant and mostly readily available, then the discount rate is generally high.
A different situation is shown in Kapoposang. It is located in a marine tourism park, where resource is wealthy and abundant; but resident fishers are considering low discount rate to its surrounding marine area. It is because of the characteristics of resource users of this island, who are traditional and use hand line or nets for fishing. They usually fish adjacent to the island thus are keen to protect it against outsiders, especially blast and poison fishing.

2. Interests among community-level decision makers
Interests among decision makers to devise rules or institutions in the community level are important to the establishment of a rule, especially on prohibiting destructive fishing. Their interests can be assessed through types of fishing gears utilized. Fishers in Kapoposang are generally traditional and using hand line or nets for fishing. Thus, they have similar interest to sustain a rule to prohibiting destructive fishing.
Conversely, one part of fishers in Barrang Caddi and Tarupa use blast or poison fishing, while another part does not. Fishing activities are supported by patrons who provide physical and financial capital. These patrons are mostly leaders in the community and affect a decision-making process. Therefore, an establishment of institution of prohibiting blast and poison fishing in these islands faces immense constraint. On the other hand, the number of fishers using blast or poison fishing in Rajuni Besar is minimal. Thus, conservation rules were quite strongly maintained during the period of external assistance.

3. Leadership within resource users
This point is related with the second point above. Participants with substantial leadership are important to promote institution for long-endure self-governance of common-pool resources (Ostrom 1990). Leadership in Rajuni Besar and Kapoposang has been involved and strongly supported conservation efforts. Likewise, fishing patrons also influence the resource use. There are no patrons in Kapoposang who promote blast or poison fishing. Local leaders in Tarupa and Barrang Caddi support conservation norm and prohibit blast and poison fishers; but there also reside fishing patrons who are financing such practice. These dissimilar interests have been constraining the establishment of sustained informal institution. This constraint is intricate to lift, even by external assistance.

Conclusion
This paper focuses on the institutional analysis of local rules addressing coral reef management. The evolution of institution for collective action in the community level has not yet endured. The intervention by external assistance by investing in social capital can induce the establishment of local institution, but this institution is not lasted after such intervention left the community. It is largely because collective action dilemmas are not yet resolved, due to the fact that delineation of resources is indefinite. Fishers are difficult to build norms of reciprocity and trust, therefore reluctant to build cooperation and maintain rules. The effectiveness of monitoring fisher’s compliance towards local rules partly depends on credible sanctioning, which is not effective, while it still largely depends on complicated formal enforcement. Finally, social capital investment in coral reef governance is important to induce norms of reciprocity, trust, and thus the establishment of institution. Nevertheless, its contribution is limited if collective action dilemma confronted by any common-pool resources is not resolved.

References
1. Agrawal, A. 2001. Common Property Institutions and Sustainable Governance of Resources. World Development, 29 (10) : 1649-1672.
2. Bavinck, M. 2001. Marine Resource Management: Conflict and Regulation in the Fisheries of the Coromandel Coast. London: Sage Publications.
3. Berkes, F. 1985. Fishermen and ‘The Tragedy of the Commons’. Environmental Conservation 12(3): 199-206.
4. Coleman, J. 1990. Foundations of Social Theory. Harvard University Press, Cambridge.
5. Dolšak, N. and E. Ostrom (Eds.). 2003. The Commons in the New Millennium, Challenges and Adaptation. Cambridge: MIT Press
6. Feeny, D., F. Berkes, B.J. McCay, and J.M. Acheson. 1990. The Tragedy of the Commons: Twenty-Two Years Later. Human Ecology 18(1):1-19
7. Folke, C., T. Hahn, P. Olsson, and J. Norberg. 2005. Adaptive Governance of Social-Ecological Systems. Annu. Rev. Environ. Resour. 30: 441-73
8. Fox, H. E., J. S. Pet, R. Dahuri, R. L. Caldwell. 2003a. Recovery in rubble fields: long-term impacts of blast fishing. Marine Pollution Bulletin 46: 1024–1031.
9. Fox, H. E., P. J. Mous, A. Muljadi, Purwanto and J. S. Pet. 2003b. Enhancing Reef Recovery in Komodo National Park, Indonesia: Coral Reef Rehabilitation at Ecologically Significant Scales (Mempercepat pemulihan terumbu karang di Taman Nasional Komodo, Indonesia: Rehabilitasi terumbu karang pada skala ekologis). The Nature Conservancy – Southeast Asia Center for Marine Protected Areas & Komodo National Park Authority.
10. Grafton, R.Q. 2005. Social capital and fisheries governance. Ocean and Coastal Management 48: 753-766
11. Hardin, G. 1968. The Tragedy of the Commons. Science 162: 1243-1248.
12. Isham, J. 2001. Can Investments in Social Capital Improve Well-Being in Fishing Communities? A Theoretical Perspective for Assessing the Policy Options. In: Microbehavior and Macroresults: Proceedings of the 10th Biennial Conference of the International Institute of Fisheries Economics and Trade, July 10-14, 2000, Corvallis, Oregon, USA. Edited by Richard S. Johnston and compiled by Ann L. Shriver. International Institute of Fisheries Economics and Trade (IIFET), Corvallis
13. Longo, J. 1999. “What Exactly Do You Mean, ‘Social Capital’?” Multiple Meanings and a Myriad of Terms in the Space Between the Market and the State. CPSS Working Paper. Victoria: Centre for Public Sector Studies.
14. Ostrom, E. 1990. Governing the commons: The evolution of institutions for collective action. Cambridge: Cambridge University Press.
15. Ostrom, E., R. Gardner, and J. Walker. 1994. Rules, Games, and Common-Pool Resources. Ann Arbor: University of Michigan Press.
16. Pomeroy, R.S. and F. Berkes. 1997. Two to tango: the role of government in fisheries co-management. Marine Policy 21(5): 465-480
17. Putnam, R. D. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. New Jersey: Princeton University Press.
18. Runge, C.F. 1992. Common Property and Collective Action in Economic Development. In: Bromley, D.W. Making the Commons Work: Theory, Practice and Policy. California: Insitute for Contemporary Studies.
19. Serageldin, I. and C. Grootaert. 2000. Defining social capital: an integrating view. In: Social Capital: A Multifaceted Perspective (eds. P. Dasgupta and I. Serageldin). Sociological Perspectives on Development series. Washington, D.C.: World Bank. Pp. 40-58

Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Posted April 26, 2008 by coastaleco
Categories: Jurnal

Oleh: Budiati Prasetiamartati, Akhmad Fauzi, Rokhmin Dahuri, Achmad Fahrudin, Hellmuth Lange

Abstract
Social capital defined as norms and social relationships embedded in a community’s structure that promote people to cooperate to achieve collective goals. Collective action or cooperation emerge when there is social capital in the community. This paper shows that input social capital and output social capital or collective action are proved to support fishery management, by way of prohibition of illegal destructive fishing, namely fishing using bomb, poison, or coral mining.

Abstrak
Konsep modal sosial diartikan sebagai sebagai norma dan hubungan sosial yang menyatu dalam struktur masyarakat dan membuat orang dapat bekerjasama dalam bertindak untuk mencapai tujuan. Aksi bersama atau kerjasama dapat berlangsung ketika terdapat modal sosial dalam masyarakat. Tulisan ini menunjukkan bahwa modal sosial input dan modal sosial output atau aksi bersama terbukti dapat mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan melalui aksi bersama pelarangan kegiatan penangkapan ikan yang merusak, antara lain penggunaan bom, bius, atau penambangan karang.

Kata kunci: pengelolaan perikanan, modal sosial.

Pendahuluan
Pengelolaan suatu sumber daya akan tergantung pada bagaimana akses terhadap sumber daya tersebut ditetapkan atau dipraktekkan. Salah satu elemen yang mempengaruhi akses adalah kepemilikan dan penguasaan sumber daya alam atau property regimes, yang didefinisikan sebagai suatu hak, kewenangan dan tanggung jawab pribadi pemilik dalam hubungannya dengan pribadi pihak lain terhadap pemanfaatan suatu sumber daya alam (Bromley & Cernea 1989).
Bila menggunakan definisi yang digunakan oleh Hardin (1968), secara umum sumber daya kelautan disebut sebagai common property atau milik bersama, yang dapat menimbulkan “tragedy of the commons”. Situasi ini terjadi ketika sumber daya bersifat open access sehingga dapat dimanfaatkan semua orang atau sulit untuk membatasi pihak lain untuk tidak memanfaatkannya, atau dikatakan bersifat non-excludable. Dalam perikanan, akses yang tidak terkontrol menimbulkan kondisi tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing), seperti yang disimpulkan Gordon melalui model Gordon-Schaefer (1954).
Wilayah laut di Indonesia merupakan milik negara (state property), dimana pemilikan sumber daya kelautan berada di bawah kewenangan pemerintah sesuai dengan peraturan yang berlaku, antara lain yang disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Aturan ini menyatakan bahwa pemerintah memiliki hak dan bertanggung jawab mengontrol pemanfaatan sumber daya kelautan tersebut, sehingga individu atau kelompok dapat memanfaatkan sumber daya kelautan atas izin, persetujuan, lisensi atau hak pengelolaan yang diberikan oleh pemerintah (McKean 1992, Ginting 1998).
Namun demikian, dilihat dari sudut pandang institusi, sumber daya milik negara seringkali menghadapi tantangan dalam melaksanakan kontrol dan menegakkan aturan. Pendekatan yang digunakan dalam penegakan aturan adalah bersifat command and control, yang memunculkan masalah principal-agent, yaitu hubungan antara yang memberi kepercayaan atau principal dengan yang menerima kepercayaan atau agent, akibat adanya ketidaksepadanan informasi (asymmetric information). Kebijakan command and control cenderung rentan terhadap perilaku oportunis (opportunistic behavior), menghasilkan perilaku sub-optimal pihak yang dikontrol, dan menggoda munculnya moral hazard bagi pengontrolnya, misalnya melalui kegiatan rent seeking (pemburu rente) (Nugroho 2003, Bromley 1992, Runge 1992). Karena berbagai permasalahan tersebut maka sumber daya yang dikelola melalui pendekatan command and control cenderung menjadi free atau open access property yaitu hak milik umum sehingga tidak ada pengaturan pemanfaatan secara individual (Bromley 1992).
Bentuk lain dari pengelolaan terhadap sumber daya perikanan laut adalah melalui kepemilikan masyarakat atau kepemilikan komunal (communal property) yaitu kepemilikan sekelompok masyarakat yang telah melembaga, dengan ikatan norma-norma atau hukum adat yang mengatur pemanfaatan sumber daya dan dapat melarang pihak lain untuk mengeksploitasinya. Pemanfaatan sumber daya didasarkan pada aturan main yang ditetapkan oleh pihak yang tergabung (Ruddle et al. 1992, Ginting 1998).
Pengelolaan komunitas terhadap sumber daya perikanan laut merupakan bentuk aksi bersama. Aksi bersama hanya dimungkinkan jika sejumlah modal sosial tersedia di dalam suatu komunitas (Grootaert et al. 2003). Birner & Wittmer (2004) menambahkan bahwa “aksi bersama (collective action) menawarkan instrumen kontrol sosial dan pada saat yang bersamaan mengurangi biaya transaksi karena biaya koordinasi dalam komunitas lokal menurun.”

Kerangka Pemikiran
Dalam perikanan tangkap terdapat bermacam alat tangkap yang digunakan, namun tidak seluruhnya ramah lingkungan. Alat tangkap ramah lingkungan dapat memenuhi 8 kriteria berikut: selektivitas tinggi; tidak merusak habitat menghasilkan ikan kualitas tinggi; tidak membahayakan operator; produk tidak membahayakan konsumen; by-catch rendah; dampak biodiversity rendah; tidak membahayakan ikan yang dilindungi; dan diterima secara sosial. Berdasarkan kriteria di atas, maka jenis alat tangkap yang termasuk merusak lingkungan adalah bahan peledak (bom) dan racun kimia (cyanida). Cara penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan racun kimia disamping bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, juga karena cara ini berdampak sangat luas terhadap perusakan habitat khususnya terumbu karang yang merupakan tempat kehidupan biota-biota laut yang berasosiasi dengannya (Sultan 2004).
Tulisan ini bertujuan mengkaji hubungan modal sosial dengan pengelolaan sumberdaya perikanan. Penelitian didasarkan pada premis bahwa modal sosial dalam masyarakat pesisir berkontribusi pada pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, untuk menghindari terjadinya kondisi tangkap lebih atau kerusakan sumberdaya. Lingkup penelitian dibatasi oleh indikator penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan yaitu penangkapan dengan bom atau bius, serta penambangan karang.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Modal sosial berkontribusi terhadap aksi bersama masyarakat nelayan dalam pengelolaan perikanan.
2. Aksi bersama masyarakat nelayan dapat menekan kegiatan penangkapan ikan denga bom dan bius, serta penambangan karang.

Metode Penelitian
Penelitian dilakukan pada lima pulau kecil yang terletak pada Taman Nasional Taka Bonerate dan Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja, yang memiliki karateristik yang mirip yaitu berada pada lingkungan sosial-budaya serupa dan berlokasi di sekitar terumbu karang, di mana masyarakatnya bergantung pada sumberdaya alam terumbu karang dan perikanan tangkap.
Data yang dikumpulkan berupa data primer yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan nelayan dan masyarakat nelayan di kelima pulau. Pengumpulan data dilakukan dua kali pada tahun 2004 dan tahun 2005.

Metode Analisis Data
Untuk mengkaji hubungan modal sosial dengan pengelolaan sumberdaya perikanan, suatu model dirumuskan sebagai berikut: P = f (MSI, MSO, L), dimana: P = indikator pemanfaatan sumberdaya; MSI = indikator modal sosial input; MSO = indikator modal sosial output; L = indikator lainnya. Karena data yang diperoleh sebagian besar berupa data nominal dan ordinal, maka akan digunakan metode statistik non-parametrik. Metode analisis data yang digunakan antara lain teknik uji beda nyata Kruskal Wallis, uji korelasi rank Spearman, dan regresi logistik. Untuk memudahkan pengolahan data, digunakan perangkat lunak SPSS Release 11.5.0.
Teknik uji beda nyata digunakan untuk menentukan pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. Karena sampel yang akan diuji berjumlah lebih dari 2, maka digunakan uji k sampel bebas Kruskal-Wallis. Uji korelasi rank Spearman digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antar variabel tidak bebas (Xi) dengan variabel bebas (Yi). Uji rank Spearman (rs) bisa digunakan karena memiliki kemampuan uji sebagai berikut: (1) dapat melihat arah korelasi antara variabel tidak bebas dengan variabel bebas; (2) dapat menormalkan data yang dilakukan melalui urutan ranking (sesuai dengan banyaknya contoh); dan (3) mudah dipelajari dan ditetapkan baik untuk nominal maupun ordinal (Siegel 1986). Signifikasi nilai korelasi rank Spearman (rs) ditentukan berdasarkan angka probabilitas (p-value). Jika probabilitas 0,05 maka derajat korelasi tidak signifikan.
Selanjutnya, untuk menyusun model pengelolaan sumberdaya perikanan yang terkait dengan modal sosial, digunakan regresi logistik. Regresi logistik mirip dengan regresi linier dan cocok digunakan untuk variabel tidak bebas yang dikotomi. Koefisien regresi logistik dapat digunakan untuk mengestimasi rasio untuk tiap variabel bebas di dalam model.

Pengertian modal sosial
Pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat atau komunal muncul ketika terdapat kesepakatan pemanfataan bersama di antara anggotanya. Kesepakatan ini bisa terjadi karena terdapat interaksi secara reguler dan berkesinambungan antara anggota masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya. Salah satu hal yang terpenting adalah bahwa aksi bersama hanya dimungkinkan jika sejumlah modal sosial tersedia di dalam suatu komunitas (Grootaert et al. 2003). Modal sosial didefinisikan secara bervariasi, dan salah satu definisi yang populer dikemukakan oleh Putnam (1993:167): “social capital refers to features of social organizations, such as trust, norms, and networks”, bahwa modal sosial didefinisikan sebagai rasa percaya, norma timbal-balik dan jaringan sosial. Atribut ini yang memungkinkan para partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan bersama.
Definisi mengenai modal sosial dinyatakan oleh Bank Dunia: “the norms and social relations embedded in the social structures of societies that enable people to coordinate action to achieve desired goals” (Grootaert et al. 2003), bahwa modal sosial dapat didefinisikan sebagai norma dan hubungan sosial yang menyatu dalam struktur masyarakat dan membuat orang dapat bekerjasama dalam bertindak untuk mencapai tujuan.
Norma dan sanksi merupakan basis utama dari institusi atau kelembagaan. Kedua hal ini pula yang membentuk modal sosial. Dalam pengertian modal sosial, kesepakatan dan pelaksanaan suatu norma merupakan perwujudan dari interaksi terus-menerus dalam suatu asosiasi dan jaringan (networks), baik formal maupun informal. Modal sosial, yang muncul melalui asosiasi dan jaringan yang didasari norma yang disepakati, sesungguhnya membentuk suatu kelembagaan. Keduanya, kelembagaan dan modal sosial, sesungguhnya memfasilitasi kumpulan orang atau komunitas atau masyarakat untuk melakukan aksi bersama (collective action). Sebagaimana definisi modal sosial yang dikemukakan oleh Woolcock & Nayaran (2000:2): “norma-norma dan jaringan-jaringan yang membuat orang bertindak secara kolektif.”
Krishna (2002) dan Narayan (1999) mendapati bahwa baik struktur makro dan kondisi mikro di masyarakat penting dalam mencapai tujuan pembangunan yang diharapkan. Untuk itu, kerangka pendekatan analisis modal sosial harus memasukkan: (1) aspek kondisi makro (institusi formal, hubungan vertikal); dan (2) kondisi mikro (institusi informal, hubungan horisontal), seperti konsep modal sosial yang diajukan oleh Narayan (1999), Woolcock (1998), dan Grootaert et al. (2003), seperti dijelaskan berikut.
Narayan (1999) menyatakan modal sosial dalam suatu masyarakat, lokalitas, daerah atau negara sesungguhnya dapat dianalisis melalui dua aspek penting, yaitu: (1) modal sosial horisontal, meliputi ikatan antar kelompok sosial (cross-cutting ties of social groups); dan (2) modal sosial vertikal, yaitu fungsi pemerintah (government’s functioning). Modal sosial vertikal yaitu fungsi atau kinerja pemerintah dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, penyelenggaraan pemerintahan (governance) yang mendorong penegakan hukum, hak warga negara, kebebasan untuk berserikat. Kedua adalah aspek kompetensi, kewenangan, sumberdaya dan akuntabilitas pemerintah.
Sedangkan Woolcock (1998) menawarkan paradigma modal sosial yang mencakup keterkaitan horisontal di dalam masyarakat lokal dan keterkaitan vertikal. Keempat dimensi modal sosial berikut perlu dikaji dalam melakukan analisis modal sosial:
1. Integrasi (integration) yaitu hubungan dengan anggota keluarga dan tetangga.
2. Keterkaitan (linkages) yaitu hubungan dengan komunitas luar dan antar komunitas.
3. Integritas organisasi (organizational integrity) yaitu institusi formal di tingkat makro.
4. Sinergi (synergy) yaitu interaksi antara pemerintah dan masyarakat.
Grootaert et al. (2003) menyatakan bahwa hubungan atau jaringan sosial sebagaimana yang dijelaskan dalam modal sosial dapat dibedakan menjadi tiga hal:
1. Bonding social capital (atau keterkaitan horisontal) yaitu ikatan dengan orang-orang yang memiliki karakter demografis yang sama (seperti tingkat sosial-ekonomi, etnis), misalnya anggota keluarga, tetangga, teman dekat dan rekan kerja. Ikatan ini sering disebut sebagai ‘perekat sosial’.
2. Bridging social capital (atau keterkaitan horisontal dengan pihak yang berbeda karakter), yaitu ikatan dengan orang-orang yang tidak memiliki karakter yang sama, misalnya kenalan, teman dari etnis lain, teman dari teman. Ikatan ini sering disebut sebagai ‘pelumas sosial’.
3. Linking social capital (atau keterkaitan vertikal), yaitu ikatan dengan orang-orang yang memiliki otoritas atau status sosial yang lebih tinggi, misalnya ikatan dengan anggota parlemen, polisi, kepala daerah, dsb (Grootaert et al. 2003, Aldridge 2002).

Modal sosial dalam pemanfaatan sumber daya perikanan kelautan
Secara khusus, Isham (2000) menganalisis potensi pengaruh modal sosial terhadap perikanan, yang dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu:
1. Biaya transaksi (transaction cost). Interaksi sosial sesungguhnya dapat mempengaruhi besarnya biaya transaksi dalam pertukaran. Ketika pelaku ekonomi terus-menerus dan secara regular berinteraksi dalam suatu kondisi sosial tertentu, mereka akan membentuk suatu pola perilaku dan membangun ikatan kepercayaan. Ditambah lagi, jika terdapat kemungkinan pengenaan sanksi, maka interaksi ini bisa menurunkan kemungkinan perilaku oportunistik dari pelaku ekonomi yang berada dalam struktur sosial yang sama.
2. Aksi bersama (collective action). Olson (1965) menyatakan bahwa tanpa adanya kendala tertentu yang mendorong ataupun memaksa pelaku ekonomi, maka pelaku ekonomi tidak akan memiliki insentif untuk berpartisipasi dalam aksi bersama untuk mencapai tujuan bersama. Interaksi secara reguler dalam suatu kondisi sosial dapat mengarah kepada pembentukan institusi yang dapat berfungsi sebagai kendala, sehingga dapat menurunkan insentif bagi pelaku ekonomi untuk menjadi penumpang bebas.
Modal sosial atau khususnya jaringan, sesungguhnya menghasilkan eksternalitas. Dilihat dari eksternalitas yang dihasilkan, terdapat dua perspektif dalam memandang modal sosial (Birner & Wittmer 2003) :
1. Perspektif aktor, yang diformulasikan oleh Bourdieu (1992), di mana modal sosial merupakan sumber daya yang dapat dimobilisasi oleh aktor individual karena keanggotaannya pada suatu jaringan eksklusif. Karena pembentukan jaringan menghasilkan eksternalitas terbatas, maka Dasgupta (2002) menyatakan bahwa modal sosial semacam ini merupakan aspek dari sumber daya manusia (human capital).
2. Perspektif masyarakat (society), seperti penelitian yang dilakukan oleh Putnam (1993), di mana modal sosial adalah barang publik (public good) yang dimiliki oleh organisasi dan jaringan horisontal dalam suatu masyarakat (Rosyadi et al. 2003). Dalam hal ini, modal sosial berkontribusi terhadap eksternalitas publik – dalam arti memberi dampak luas, bahkan nation wide – maka modal sosial merupakan komponen ‘total faktor produktivitas’ (total factor productivity) (Dasgupta 2002).
Berdasarkan kerangka analisis modal sosial, dalam mengatasi permasalahan pemanfaatan sumber daya perikanan, maka modal sosial dapat berkontribusi pada pola pemanfaatan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi penggunanya, seperti pencemaran dan/atau produksi yang berlebih. Produksi perikanan tangkap diharapkan dapat efisien atau menghindari economic inefficiency seperti yang dikemukakan oleh Gordon-Schaeffer. Secara matematis, fungsi produksi yang biasa digunakan dalam pengelolaan sumber daya ikan adalah: . Fungsi produksi tangkap ( ) bergantung pada faktor input yang biasa disebut sebagai upaya (effort). Upaya ( ) merupakan indeks dari berbagai input seperti tenaga kerja, kapal, alat tangkap, dsb, yang digunakan untuk kegiatan penangkapan. Selain itu, produksi juga merupakan fungsi dari stok ikan ( ). Sedangkan adalah koefisien kemampuan tangkap (catchability coefficient) yang berarti proporsi stok ikan yang dapat ditangkap oleh satu unit upaya. Bentuk fungsi produksi yang linear ini sering diangggap tidak realistis karena tidak memasukkan kondisi diminishing return upaya terhadap produksi (Fauzi 2004). Namun, untuk kemudahan analisis, fungsi produksi linear ini akan digunakan.
Input yang digunakan untuk kegiatan penangkapan merupakan bentuk dari modal (capital). Secara umum terdapat lima jenis modal yaitu: modal alam dan lingkungan (natural capital); modal infrastruktur buatan manusia (physical capital); modal ekonomi atau keuangan (economic or financial capital); sumber daya manusia (human capital); dan modal sosial (social capital) (Scoones 1998). Tentunya dalam persamaan (1), natural capital tidak termasuk ke dalam variabel upaya ( ), namun diilustrasikan pada variabel stok . Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa input yang digunakan dalam upaya ( ), dapat mencakup modal sosial.
Melangkah dari perspektif ini, maka pengaruh modal sosial dapat dilihat dari dua hal utama, yaitu:
1. Modal sosial dengan eksternalitas terbatas.
Paling tidak terdapat dua pengaruh modal sosial dengan eksternalitas terbatas, sebagai berikut:
a. Bagi individu atau jaringannya.
Dalam masyarakat pesisir yang memiliki keterbatasan sumber daya fisik dan ekonomi, maka modal sosial dalam bentuk rasa percaya (trust) dan norma timbal-balik (norm of reciprocity) dimanfaatkan untuk memperoleh kedua sumber daya tersebut untuk kegiatan penangkapan ikan. Ini terlihat dari hubungan hutang dan patron-klien. Dalam hal ini modal sosial bermanfaat karena menurunkan biaya transaksi (transaction cost) dalam melakukan kegiatan ekonomi yaitu penangkapan ikan, dan eksternalitas terbatas bagi individu atau jaringannya; meskipun praktek ini sesungguhnya meluas.
b. Bagi komunitas masyarakat pesisir tertentu.
Selain itu modal sosial juga dapat dilihat sebagai aksi bersama untuk mengelola sumber daya milik komunal melalui aturan dan sanksi. Ostrom (1990) menyatakan ada 2 kriteria yang memberikan batasan mengenai sumberdaya self-organized common-pool resources atau sumberdaya yang dikelola secara mandiri: (1) ada biaya yang digunakan untuk melindungi dan melarang pihak lain untuk mengeksploitasi sumber daya, (2) sumber daya terbatas sehingga bila dimanfaatkan terus dapat habis. Dalam hal ini modal sosial bermanfaat karena menurunkan biaya transaksi (transaction cost) dalam melakukan kontrol terhadap upaya tangkap, yang bisa dilakukan melalui pembatasan pelaku perikanan, ekstraksi sumber daya pada musim tertentu, penggunaan alat tangkap tertentu, dsb. Aksi bersama pengelolaan sumber daya secara komunal berlangsung karena adanya aturan dan sanksi. Contoh modal sosial bentuk ini yang telah melembaga dan sering dikutip adalah: sasi laut (Maluku), ondoafi (Papua), rompong (Sulawesi Selatan), awig-awig (Lombok) dan panglima laot (Aceh).
Dengan demikian, modal sosial ini dapat dimasukkan pada persamaan upaya menjadi: , dimana adalah upaya yang mengandung modal sosial, sehingga adalah produksi yang dipengaruhi oleh modal sosial.
2. Modal sosial dengan eksternalitas luas.
Secara makro, output produksi dapat diilustrasikan pada persamaan dimana dengan adalah ouput produksi yang bisa menggunakan pendapatan kotor nasional (GNP). adalah faktor skala fungsi produksi, yang biasa diartikan oleh para ekonom sebagai total faktor produktivitas ekonomi, yang merupakan indeks kombinasi kemampuan institusional, termasuk sistem property rights. adalah modal fisik. adalah agregat human capital, sedangkan adalah input tenaga kerja (Dasgupta 2001).
Total faktor produktivitas ( ) yang mencakup sistem property rights dan penegakannya, dapat dimasukkan ke dalam fungsi produksi perikanan, sehingga persamaan (3) menjadi: dimana .
Total faktor produktivas ini yang disebut Narayan (1999) sebagai fungsi pemerintah (government’s functioning), atau Woolcock (1998) sebagai modal sosial keterkaitan vertikal yang meliputi integritas organisasi (organizational integrity) atau kinerja institusi formal di tingkat makro (antara lain penegakan hukum), dan sinergi (synergy) atau interaksi antara pemerintah dan masyarakat. Meskipun total faktor produktivitas menjelaskan kondisi ekonomi makro (Dasgupta 2001), variabel ini dimasukkan ke dalam fungsi produksi mikro, berdasarkan pemahaman bahwa kondisi struktural dan institusional makro mempengaruhi kegiatan penangkapan ikan.

Hasil dan Pembahasan
Pemanfaatan sumberdaya

Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan di lokasi studi dapat dilihat melalui indikator penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan, yaitu penangkapan ikan dengan bom atau bius, serta penambangan karang. Dari indikator-indikator ini dapat dibuktikan bahwa kelima pulau memiliki perbedaan yang siginifikan. Uji beda nyata Kruskal-Wallis keempat indikator menghasilkan angka probabilitas < 0,05 atau hipotesis Ho berhasil ditolak, dengan demikian disimpulkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antar kelima pulau. Data tahun 2004 dan 2005 menggunakan skor penilaian yang berbeda, sehingga untuk memudahkan komparasi dibuat indeks untuk masing-masing indikator. Terlihat bahwa Kapoposang dan Rajuni Besar memiliki indeks pemanfaatan sumberdaya merusak yang paling rendah, dan jauh berbeda dengan Barrang Caddi, Tarupa, dan Rajuni Kecil.

Keterkaitan Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Data tahun 2004

Penangkapan ikan dengan bom atau bius berkorelasi signifikan dengan sumber kapital, keanggotaan dalam kelompok, pendidikan, dan usia. Korelasi paling kuat ditunjukkan oleh jaringan sumber kapital. Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya dua jenis jaringan sumber kapital, yaitu modal sosial bonding dan modal sosial bonding vertikal atau bridging . Jaringan sumber kapital yang berasal modal sosial bonding vertikal atau bridging cenderung berkorelasi terhadap penangkapan ikan dengan bom atau bius.
Keterkaitan bonding vertikal merupakan karakter dari hubungan nelayan dengan patron yaitu sistem ponggawa-sawi, sedangkan keterkaitan bridging merupakan hubungan nelayan dengan patron atau pedagang di luar pulau atau di kota lain. Hal ini serupa dengan hasil berbagai penelitian, bahwa penggunaan alat tangkap bom atau bius dipengaruhi oleh ponggawa atau pemodal (Meereboer 1998; LP3M 2002).

Data tahun 2005
Pemanfaatan sumberdaya dan modal sosial output
Aksi bersama (collective action) merupakan potensi pengaruh modal sosial terhadap perikanan (Isham 2000). Aksi bersama tergolong ke dalam “modal sosial output” (Grootaert et al. 2003), dan diyakini hanya dapat dimungkinkan jika sejumlah “modal sosial input” tersedia di dalam suatu komunitas (Grootaert et al. 2003).
Pelarangan bom/bius memiliki rata-rata total 1,59 atau dilakukan antara tidak pernah atau kadang-kadang, meskipun terdapat kelompok konservasi (total rata-rata 1,77) namun tidak aktif (total rata-rata 1,22). Keberadaan kelompok konservasi berbeda signifikan antar kelima pulau. Kelompok ini eksis di empat pulau, kecuali di Barrang Caddi.
Korelasi Spearman menunjukkan hubungan yang signifikan antara indikator modal sosial output dan indikator pemanfaatan sumberdaya. Ternyata hanya satu korelasi yang signifikan pada angka probabilitas < 0,05, yaitu penangkapan dengan bius dan keberadaan kelompok konservasi. Hubungan yang negatif menunjukkan bahwa jika kelompok konservasi eksis penangkapan dengan bius lebih sedikit.

Pemanfaatan sumberdaya dan input modal sosial
Rasa percaya, keberadaan minuman keras, tidak toleransi terhadap bom/bius, dan setuju pengenaan sanksi terhadap bom/ bius, memiliki perbedaan nyata antar kelima pulau. Selanjutnya, rasa percaya, keberadaan minuman keras, dan tidak toleransi terhadap bom/bius memiliki korelasi signifikan dengan indikator pemanfaatan sumberdaya.
Rasa percaya berasosiasi negatif dengan penangkapan dengan bom, berarti pulau dengan penangkapan dengan bom tinggi memiliki rasa percaya yang rendah. Rasa percaya rendah di Rajuni Kecil yang memiliki penangkapan bom yang tinggi. Sedangkan penangkapan dengan bius berkorelasi positif dengan keberadaan minuman keras, yang menunjukkan bahwa tingginya penangkapan dengan bius terkait dengan tingginya keberadaan minuman keras. Keberadaan minuman keras tinggi di Barrang Caddi dan Tarupa yang memiliki penangkapan dengan bom/bius yang tinggi; berbeda dengan kondisi di Kapoposang.
Hubungan yang menarik dilihat pada asosiasi antara penangkapan dengan bius dan tidak toleransi terhadap bom/ bius, yang berasosiasi positif. Ini menunjukkan bahwa meskipun nelayan dan masyarakat nelayan pulau tidak mentolerir keberadaan bom/bius, kondisi ini tidak menurunkan kejadian penangkapan ikan dengan bius.

Pemanfaatan sumberdaya dan indikator lainnya
Rata-rata indikator lainnya mencakup indikator fungsi pemerintah, karakteristik sosial ekonomi, dan persepsi terhadap sumberdaya. Persepsi manfaat terhadap terumbu karang setelah adanya pendampingan masyarakat serta persepsi perubahan ukuran ikan dalam lima tahun terakhir, memiliki perbedaan nyata antar kelima pulau.
Hasilnya menampilkan korelasi yang signifikan antara indikator lainnya dan indikator pemanfaatan sumberdaya. Persepsi manfaat terhadap terumbu karang dan persepsi perubahan ukuran ikan berasosiasi negatif dengan penangkapan dengan bius. Pulau dengan tingkat penangkapan bius tinggi seperti Barrang Caddi, Rajuni Kecil dan Tarupa, nelayannya memiliki persepsi bahwa kondisi terumbu karang tidak berubah setelah adanya pendampingan masyarakat, demikian pula dengan ukuran ikan yang dikatakan tidak semakin mengecil selama lima tahun terakhir. Pulau-pulau dengan kegiatan penangkapan bom/ bius tinggi memiliki persepsi krisis sumberdaya yang rendah, dan berbeda dengan Kapoposang yang menganggap bahwa kondisi terumbu karang memburuk.

Keterkaitan antara modal sosial output dan modal sosial input
Hasil yang diperoleh menampilkan korelasi yang signifikan antara modal sosial input dan indikator modal sosial output. Pelarangan bom/bius berasosiasi negatif dengan keberadaan minuman keras, namun berasosiasi positif terhadap tidak toleransi terhadap bom/biu dan rasa adil pelarangan bom/bius. Keberadaan kelompok konservasi dan kelompok konservasi aktif berkorelasi positif dengan rasa adil pelarangan bom/bius. Pelarangan mengambil karang menunjukkan rasa percaya yang tinggi Ini menunjukkan bahwa kesamaan norma dan rasa percaya (modal sosial input) mempengaruhi modal sosial output yaitu aksi bersama dalam mencapai pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ramah lingkungan.

Model Sumberdaya Perikanan
Tahap analisis selanjutnya menggunakan analisis regresi logistik untuk menentukan model pemanfaatan sumberdaya. Indikator pemanfaatan sumberdaya dijadikan sebagai variabel tidak bebas sedangkan indikator modal sosial output, modal sosial input, fungsi pemerintah karakteristik sosek, dan persepsi terhadap sumberdaya dimasukkan sebagai variabel bebas ke dalam model.
Uji kelayakan model ditentukan berdasarkan koefisien determinasi R kuadrat (Nagelkerke R Square) dan uji goodness-of-fit menggunakan uji Hosmer dan Lemeshow yang memiliki nilai nyata < 0,05. Dari berbagai kombinasi variabel tidak bebas dan variabel bebas yang diuji coba dihasilkan dua model yang layak sebagai berikut. Satu model menggunakan data tahun 2004, dan model lainnya menggunakan data tahun 2005.

Data tahun 2004
Kedua variabel yaitu sumber kapital dan usia nelayan dapat menjelaskan 19 persen bagi model. Uji kesesuaian model menggunakan uji Hosmer dan Lemeshow menunjukkan hasil yang signifikan dengan nilai nyata < 0,05. Model ini menunjukkan bahwa penangkapan dengan bom/bius dapat dijelaskan dengan keberadaan jaringan sumber kapital yang bersifat bonding vertikal atau bridging dan usia nelayan. Penangkapan dengan bom/bius dilakukan secara umum oleh nelayan berusia muda.

Data tahun 2005
Ketiga variabel dapat menjelaskan 44,2 persen bagi model. Uji kesesuaian model menggunakan uji Hosmer dan Lemeshow menunjukkan hasil dengan nilai nyata < 0,05.
Model ini menunjukkan bahwa penangkapan dengan bom dapat dijelaskan dengan rendahnya rasa percaya di antara masyarakat dan rendahnya toleransi terhadap bom/bius. Berarti modal sosial input yaitu rasa percaya dan kesamaan norma mempengaruhi kegiatan pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan.
Namun demikian, rasa adil pelarangan bom/bius berbanding lurus dengan bom. Ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat norma yang meluas bahwa masyarakat menganggap adil jika bom/bius dilarang, tetap saja penangkapan ikan dengan bom tinggi. Kondisi ini terkait dengan kinerja penegakan hukum yang secara rata-rata dianggap tidak konsisten dalam menindak penangkapan bom/bius yang ilegal. Sehingga meskipun nelayan menganggap pelarangan bom/bius adil dilakukan, namun tidak menurunkan kegiatan bom/bius. Hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Narayan (1999) dan Woolcock (1998), bahwa modal sosial horisontal di tingkat masyarakat hanya akan mencapai kondisi pembangunan yang diharapkan jika didukung oleh struktur dan institusi makro, salah satunya adalah penegakan hukum.

Kesimpulan
Berdasarkan analisis, modal sosial input yaitu rasa percaya dan tidak-toleransi terhadap bom/bius dalam masyarakat nelayan berpotensi untuk mendukung perikanan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, melalui pelarangan penangkapan ikan dengan bom atau bius. Modal sosial output yaitu keberadaan kelompok konservasi berpotensi menurunkan penangkapan ikan dengan bius. Ini membuktikan hipotesis penelitian. Namun di sisi lain, modal sosial yang bersifat bridging pada jaringan sumber kapital berpotensi untuk mendorong terjadinya penangkapan ikan dengan bom atau bius.
Penelitian ini membuktikan bahwa modal sosial input yaitu rasa percaya dan kesamaan norma mendukung adanya aksi bersama komunitas nelayan, sebagaimana diungkapkan oleh Grootaert et al. (2003). Disamping itu, fungsi pemerintah dan integritas institusi formal di tingkat makro berperan penting untuk menumbuhkan serta menjaga aksi bersama dan modal sosial input yang telah ada pada komunitas nelayan. Hanya ketika institusi makro dan modal sosial komunitas memiliki kinerja positif yang saling mendukung, pengelolaan sumberdaya perikanan dapat berkelanjutan.

Daftar Pustaka
1. Birner, R. & H. Wittmer. 2003. Using Social Capital to Create Political Capital: How Do Local Communities Gain Political Influence? A Theoretical Approach and Empirical Evidence from Thailand. In: Dolšak, N. and E. Ostrom (Eds.): The Commons in the New Millennium, Challenges and Adaptation, MIT Press, pp. 291-334.
2. Bromley, D. W. (ed.) 1992. Making the Commons Work: Theory, Practice, and Policy. ICS Press. San Fransisco, California.
3. Bromley, D.W. & M.M. Cernea. 1989. The Management of Common Property Natural Resources: some conceptual and operational fallacies. World Bank Discussion Papers (57). Washington, D.C.: The World Bank.
4. Dasgupta, P. 2002. Social Capital and Economic Performance: Analytics. Cambridge: University of Cambridge.
5. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia
6. Ginting, S.P. 1998. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Kelautan di Sulawesi Utara Dapat Mengancam Kelestarian Pemanfaatannya. Jurnal Pesisir dan Lautan 1 (2): 30-43
7. Gordon, H. S. 1954. The economic theory of a common property resource: the fishery. Journal of political economy 62, 124-142
8. Grootaert, C., D. Narayan, V. N. Jones & M. Woolcock. 2003. Integrated Questionnaire for the Measurement of Social Capital (SC-IQ). Washington, DC: World Bank
9. Hardin, G. (1968): The Tragedy of the Commons. Science 162, 1243-1248
10. Isham, J. 2000. Can Investments in Social Capital Improve Well-Being in Fishing Communities? A Theoretical Perspective for Asssessing the Policy Options. Paper presented at the IIFET Conference. Corvallis, USA. July 10-14
11. Krishna, A. 2002. Active Social Capital: Tracing the Roots of Development and Democracy. New York: Columbia University Press.
12. McKean, M.A. (1992) Management of Traditional Common Lands (Iriaichi) in Japan, in D. W. Bromley (ed) Making the Commons Work: Theory, Practice, and Policy, pp. 63-98. San Francisco, CA: Institute for Contemporary Studies Press
13. Meereboer, M. 1998. Fishing for Credit: Patronage and debt relations in the Spermonde Archipelago, Indonesia. in Robinson, K. & M. Paeni. Living Through Histories: Culture, History and Social Life in South Sulawesi. Canberra: Australian National University
14. Narayan, D. 1999. Bonds and Bridges: Social Capital and Poverty. Policy Research Working Paper 2167. Poverty Division, Poverty Reduction and Economic Management Network. Washington, D.C.: World Bank
15. Olson, M. 1965. The Logic of Collective Action – Public Goods and the Theory of Groups, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts.
16. Ostrom, E. 2000. Social capital: a fad or a fundamental concept? In P. Dasgupta and I. Serageldin, eds. Social Capital: A Multifaceted Perspective, 172-214. Sociological Perspectives on Development series. Washington, D.C.: World Bank.
17. ____. 1990. Governing the commons: The evolution of institutions for collective action. Cambridge: Cambridge University Press
18. Putnam, R. D. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. New Jersey: Princeton University Press.
19. Rosyadi, S., R. Birner, and M. Zeller. 2005. Creating political capital to promote devolution in the forestry sector—a case study of the forest communities in Banyumas district, Central Java, Indonesia. Forest Policy and Economics 7(2): 213-226
20. Ruddle, K., E. Hviding & R.E. Johannes. 1992. Marine resources management in the context of customary tenure. Marine Resource Economics 7: 249-273
21. Runge, C.F. 1992. Common Property and Collective Action in Economic Development. in Bromley, D.W. Making the Commons Work: Theory, Practice and Policy. California: Insitute for Contemporary Studies.
22. Satria, A., A. Umbari, A. Fauzi, A. Purbayanto, E. Sutarto, I. Muchsin, I. Muflikhati, M. Karim, S. Saad, W. Oktariza dan Z. Imran. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. Pusat Kajian Agraria IPB dan Partnership for Governance Reform in Indonesia. Jakarta: Pustaka Cidesindo
23. Scoones, I. 1998. Sustainable Rural Livelihoods: A Framework for Analysis. IDS Working Paper 72. Sussex: Institute of Development Studies.
24. Siegel, S. 1986. Statistik Non-Parametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial. (Diterjemahkan oleh Zanzani Suyuti dan Landung Simatupang. 1994). Jakarta: Gramedia
25. Soselisa, H. 2001. Sasi Laut di Maluku: Pemilikan Komunal dan Hak-hak Komunitas dalam Manajemen Sumberdaya Kelautan, dalam Sumberdaya Alam dan Jaminan Sosial, oleh Franz von Benda-Beckmann et al. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
26. Stiglitz, J.E. 2000. Formal and informal institutions. In P. Dasgupta and I. Serageldin, eds. Social Capital: A Multifaceted Perspective, 59-68. Sociological Perspectives on Development series. Washington, D.C.: World Bank.
27. SPSS Inc. 2002. SPSS for Windows Release 11.5.0.
28. Sultan, M. 2004. Pengembangan Perikanan Tangkap di Kawasan Taman Nasional Laut Taka Bonerate. Disertasi (Tidak dipublikasikan). Program Studi Teknologi Kelautan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
29. Woolcock, M. & D. Narayan. 2000. Social Capital: Implications for Development Theory, Research, and Policy. World Bank Research Observer 15(2).
30. Woolcock, M. 1998. Social Capital and Economic Development: Towards a Theoretical Synthesis and Policy Framework. Theory and Society 27 (2): 151-208

RIWAYAT HIDUP

Posted April 25, 2008 by coastaleco
Categories: Jatidiri

Achmad Fahrudin dilahirkan di Jakarta pada hari Jum’at 27 Maret 1964 sebagai anak ketiga dari lima bersaudara. Tahun 1983 menamatkan pendidikan menengah di SMA Negeri 14 Jakarta. Selama di SMA mengikuti kursus elektronika dan mesin kendaraan bermotor. Pendidikannya kemudian dilanjutkan di Institut Pertanian Bogor pada Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan IPB, yang diselesaikan pada tahun 1988. Selama kuliah aktif dalam organisasi kemasiswaan, diantaranya senat mahasiswa fakultas dan jurnalistik Fakultas Perikanan IPB.

Setelah menjadi sarjana, bekerja pada salah satu penerbitan majalah ekonomi di Jakarta selama setahun, kemudian diangkat menjadi asisten dosen di Fakultas Perikanan IPB pada tahun 1990 dan setahun kemudian diangkat menjadi dosen tetap, kemudian melanjutkan pendidikan pascasarjana di IPB yang diselesaikan pada tahun 1996. Selama menjadi dosen pernah menjabat Pembantu Dekan urusan kemasiswaan pada tahun 1997 sampai tahun 2000.

Pendidikan doktoral diselesaikan selama tahun 2000 sampai tahun 2003 di Universitas Kiel, Jerman. Selama kuliah di Jerman berpartisipasi pada seminar IASI di Hamburg dan ISTECS di Kiel. Setelah kembali ke Indonesia dipercaya menjadi Sekretaris Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB pada tahun 2004 sampai tahun 2006.

Saat ini menjadi staf pengajar pada Bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, dan juga aktif sebagai peneliti senior pada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB (PKSPL-IPB). Sampai saat ini telah menyelesaikan beberapa proyek mengenai lingkungan dan sumberdaya pesisir dan lautan yang bekerjasama dengan instansi pemerintah (seperti Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Kelautan dan Perikanan, Pemda DKI Jakarta, Pemda Jawa Barat, Pemda NAD, Bakosurtanal, Badan Pertanahan Nasional, dan BPMIGAS), instansi swasta (Kufpec, Husky, Total, Hess), dan badan internasional (USAID, IMO). Selain itu pernah menjadi pelatih dan pembicara mengenai pengelolaan pesisir pada berbagai seminar dan workshop di Bogor, Jakarta, Bandung, dan Manado.
Komentar dan saran mohon dialamatkan ke: fahrudina@yahoo.com

Assessing fishery sustainability using a multi-criteria participatory approach

Posted April 25, 2008 by coastaleco
Categories: Jurnal

By: Budiati Prasetiamartati, Akhmad Fauzi, Rokhmin Dahuri, Achmad Fahrudin, Hellmuth Lange

Abstract

The sustainability in the integrated human and nature systems or social–ecological systems (SES) of reef fishery needs to get attention, because the livelihood of many coastal communities are dependent upon it. Likewise, coral reef ecosystem is important marine resource as a source of biodiversity, a spawning aggregation for various reef fish and biota. However, coral reef ecosystem in South Sulawesi has been pressured by reef-related fishing activities, which include destructive practices of bomb and poison fishing.

This study assesses the condition of fishery sustainability in five selected small islands situated in Taka Bonerate Marine National Park and Spermonde Archipelago, South Sulawesi. Multi-criteria analysis (MCA) is used as a decision-making tool to analyze and evaluate multiple indicators under a participatory group decision-making environment (Mendoza and Prabhu 2004). Four variable criteria of sustainability indicators are included, namely ecological-criterion indicators, economic-criterion indicators, social-criterion indicators, and institutional-criterion indicators. The result of the assessment is analyzed with the state of coral reef and the state of destructive fishery in the area.

Keyword: fishery, sustainability, multi-criteria analysis, participatory approach.

Introduction

Coral reef is important marine resource as a source of biodiversity, a breeding place for fisheries, and supplying benefits for human communities, especially those who dependent on marine resources, i.e. fishermen and coastal communities. However, threat to coral reef ecosystem and fishery includes the use of bomb and poison that have been dated back since the Second World War (Pet-Soede et al. 1999). Destruction of coral reef and fishery can contribute to weakening spawning aggregation for various reef fish and biota.

On the other hand, sustainable resource management has become the central goal of most resource-based management organizations including government, non-government, research and development, and many international organizations (Mendoza and Prabhu 2004). One of the practical initiatives to achieve sustainability is to evaluate or measure sustainability. However, given the uncertainty in environment (Weisbuch 2000) and marine environment (Wilson 2005), a knowledge-based management, that incorporates both local knowledge and scientific knowledge, is inevitable. Increasingly, many scientists are calling for more discussion among stakeholders. “They recognize first that they are not the only experts in the process and second that the uncertainty of the marine environment means that no single form of expertise has the right, or even adequate, answers” (Wilson 2005:4).

The uncertain and dynamic characteristic of social-ecological system (SES) calls for cooperation between scientists and stakeholders. This is a way to promote co-management institutions that needs to be adaptive, because it requires attention to iterative feedback learning from the management experience as it unfolds. This realization has brought in the concept of adaptive co-management (Berkes 2005).

This study proposes a participatory approach to measure fishery sustainability by using a multi-criteria analysis (Adrianto et al 2005). It aims at assessing the state of coral reefs, destructive fishery and fishery sustainability, and relates them to explain the condition of fishery sustainability.

Materials and methods
Study sites

In order to achieve research objectives, a comparative study is carried out in five small island communities situated in Taka Bonerate Atoll and Spermonde Archipelago, South Sulawesi. The study is primarily based on empirical study. The case studies was carefully selected in order to compare the study sites whose resident fishers involve in destructive fishery, i.e., bomb and/or poison fishing, is prevalent; and those communities where destructive-fishing practices are non-existent or trivial. Nevertheless, all island fisher communities are situated in coral reef resources and dependent upon reef fishery. The area of each island is around 50 Ha, with population between 400 and 1,300 persons.

Data collection methods

Data collection for the study is carried out in three different methods. The data on status of coral reefs in the study area are based on secondary data collection, whereas the data on state of destructive fishery is collected through population survey and resource user survey. Finally, the fishery sustainability is assessed by a participatory multi-criteria analysis (MCA) that collected through focus group discussions. Description about participatory MCA is clarified in the following section.

The population survey was carried out in 2004, while the resource user survey was done in 2005. The survey questionnaire includes questions on the use of bomb or poison fishing by the resident fishers. The survey in 2004 asked which resident fishers are using bomb or poison fishing. The survey in 2005 asked respondent’s assessment on the frequency of bomb or poison fishing in their island, either frequent, rare, or never.

Participatory multi-criteria analysis

To assess the fishery sustainability, this study utilizes a formal methodology called multi-criteria analysis (MCA). MCA is a general approach that can be used to analyze complex problems involving multi-criteria (Mendoza and Prabhu 2003), and have advantages when applied in a complex and stochastic system like fisheries (Adrianto et al 2005). This method is suitable for three reasons. First, it can deal with mixed set of data, quantitative or qualitative, including stakeholders’ opinion. Secondly, it is conveniently structured to enable a collaborative planning and decision-making environment. Finally, it is simple, intuitive, and transparent, hile it has strong technical and theoretical support in its procedures.

Following Mendoza and Prabhu (ibid), MCA is used as a decision-making tool to analyze and evaluate sustainability under a participatory group decision-making environment. The use of this method can be used for generating criteria and indicators for sustainable resource management, estimating their relative importance, estimating the performance of each indicator relative to its desired condition.

The analysis using MCA approach is done into two parts. The first part is to generate a set of sustainability indicators of fisheries. The methods used in this part of analysis are varied, ranging from expert driven and top-down to bottom up, and locally defined (Adrianto et al 2004). This study is following a study done by Adrianto et al (ibid) and using a mixed-method approach, in which it combines expert-driven fisheries sustainability indicators (Pitcher 1999) and then these indicators are confirmed to the local stakeholders in order to generate a “local accepted” fishery sustainability indicators.

The second part of analysis is evaluating the sustainability indicators in terms of their importance by ranking each indicators using a 5-point scale namely 1 – less important, 3 – moderately important, 5 – extremely important, and 2, 4 – intermediate value. A different scale is proposed by Mendoza and Prabhu (2003) which using 9-point of scale, and Adrianto et al (2005) used 7-point of scale. However, for reason of simplicity during stakeholder meeting, this study uses 5-point scale.

The next analysis examined each indicator by judging their current condition relative to their perceived target or desired condition (Mendoza and Prabhu 2004, Adrianto et al 2005). The desired condition was to reflect or represent a sustainable status of fishery sustainability indicators. In this respect, an MCA approach of 5-point scale is applied, following Adrianto et al (2004), with values 1: extremely weak performance, strongly favorable, 2: poor performance, unfavorable, 3: acceptable, 4: very favorable performance, and 5: state of the art in the region.

Participants

The analysis is based on a participatory approach. Respondents consisted of three types of stakeholders were involved in the analysis, namely fisher, trader or fishing patron, and local policy maker. Total participants in each island ranged from 6 to 9 persons. This number is not as much as the number of participants involved in other studies. Mendoza and Prabhu (2004) incorporated 10 participants of each forest area, and Adrianto et al (2005) gathered 15 participants of a small island. However the small of the participants, they are viewed as representing the view of each island community, while they comprise of three different groups of stakeholder of fishing practice. They are sufficient to portray the fishery sustainability state of each island for this study, but care must be kept in mind to use this result for other purpose.

Stakeholders’ views were initially assembled through group discussions, however biased opinions emerged. Therefore, closed individual interviews were then held to gather respective opinions. In this method, each participant was free to pose their views and further question on the objective of the research.

Results
Status of Reefs

Corals are vital as spawning grounds for many species of fish and help prevent coastal erosion. The ecological indicator of the coral reefs is based on the living coral cover. This measurement is a useful indication of the quality of reefs. The diversity of reef fishes is correlated with the condition of reefs as the determined by the percentage cover of living coral (Soekarno 1989).

The latest investigation of the condition of Taka Bonerate atoll in 2000 shows that the average hard coral cover is 50.1% (Coremap – ACIL 2000 at Appendix 2). Whereas coral reef condition in Barrang Caddi Island is only 25% in good condition, while in Kapoposang is 70% (DKP South Sulawesi 2003).

State of Destructive Fishery

The state of destructive fishery in the studied island is examined from data collected in 2004 and 2005. Data on the practices of bomb, poison and coral taking were composed into indexes, in order to simplify its presentation. Index for poison and bomb fishing is calculated for each year. Index for 2004 is taken from the percentage of fishers using bomb or poison fish. Index for 2005 is calculated from the percentage of responses saying ‘frequent’ use of bomb or poison fishing by resident fishers.

State of Fishery Sustainability
Generation of Indicators

The first part of the multi-criteria analysis is to generate the set of indicators and assess their importance judged by stakeholders. This study used a set of sustainability indicators that consisted of four variable criteria of sustainability indicators, namely ecological-criterion indicators (5 or 6 indicators, differed in each islands), economic-criterion indicators (5 indicators), social-criterion indicators (4 indicators), and institutional-criterion indicators (3 indicators). These indicators were modified from fisheries sustainability indicators formulated by Pitcher (1999) and Adrianto et al (2004), which were presented to stakeholders for discussion on their relevance and assessment. They were slightly modified, for example stakeholders added the indicators of market price and of fishing tools in relation with economic sustainability. In sum, most stakeholders did not reject or modify these indicators. Note that one indicator (i.e., tourism) did not fit to Barrang Caddi Island.

Weight of Indicators

The following results show the importance of indicators which are judged using a 5-point of values by the stakeholders. The results are examined in three parts: average weight; relative weight; and differences on group interests.

Average Weight

According to stakeholder values, all islands regard economic criteria of sustainability as the most important than other criteria. It can be seen from the average weight value, which is calculated in a range from 4.23 to 3.71, showing extremely important to moderately important. However, indicator of tourism in particular is valued as less important. The next criterion important is institutional criteria, with average weight value from 3.99 to 3.71. The following is social criterion, which is calculated in a range from 3.58 to 2.68. The ecology criterion is valued lowest, with average value from 3.40 to 3.10.

Relative Weight

Based on the calculation of relative weights, it can be clearly seen that some indicators are rated higher than others. But the difference is also clear among islands. For example, under the institutional sustainability criteria, indicator 18 (i.e., formal and informal fishing regulations) is higher than other indicators under the same criteria (institutional sustainability). But it only appears for Tarupa, Rajuni Kecil and Rajuni Besar. On the other hand, Barrang Caddi and Kapoposang are valued law enforcement higher. It can be explained by the fact that law enforcement at the sea in Barrang Caddi and Kapoposang is worse than the rest.

Indicator 13 (i.e., environmental knowledge), under the social criteria of sustainability, is valued higher in all islands. An important distinction is the indicator 15 (conflict status) which is valued higher than other indicators in the same criteria, particularly in Rajuni Besar and Kapoposang. This occurs because these communities often faced fishing conflicts, while most of their fishers did not use destructive fishing tools while outside fishers often use them in the same fishing grounds.

Within the ecological criteria of sustainability, indicators of coral reef ecosystem and destructive fishing tools (indicators 10 and 11) are valued higher in most of islands, except in Barrang Caddi. This value corresponds to the fact that Barrang Caddi has half of fishers using poison fishing, and many of their fishing patrons believe that cyanide fishing is not harmful to coral reefs.

Finally, under the economic criteria of sustainability, participants are valued higher on indicators of market fish price and of income from fishing. On the other hand, the indicator of volume of catch is valued less important, because it is market price of fish that gives affect to income, rather than volume. Interestingly, participants in most islands perceive lower value on where fish are marketed (indicator 2), which demonstrates that they have low knowledge on the target market of their fish, but understand that some fish are priced higher than others. However, this situation is not observed in Barrang Caddi, and put higher value on the indicator of market of fish. It clarifies the fact that this island is bordering to Makassar where some export traders are located.

Group Interests

Furthermore, different stakeholder perceives different value or importance of some indicators. A distinction is shown in the value of indicator destructive fishing tools (indicator 11). Fishers using bomb or poison in Tarupa and fishing patrons in Barrang Caddi perceived this indicator as less important and gave weight of 1 or 2. These islands have the highest incidents and fishers using bomb or poison fishing.

Divergent views of each stakeholder group on the importance of each indicator of sustainability are shown based on average weight. Local policy maker regards the institutional criterion of sustainability as the highest value (4.26), and the second is the economic criterion of sustainability (3.92). Fishing trader or patron view the highest value on the economic criterion (4.05), followed by the institutional criterion (3.29). This order of rank is also viewed by fisher group, who valued the economic criterion as the highest (3.96) and followed by the institutional criterion (3.93).

From their average weight, the ecological criterion of sustainability is ranked as the last value for the fishing trader or patron group (2.28) and the local policy maker group (3.27), and placed on the third rank by the fisher group (3.29). Apparently, the importance of ecological criterion is the least (i.e. 2.28 means less than moderately important) by the fishing trader or patron group compared to other groups.

Sustainability Index of Criteria

The next part of analysis is to estimate the “sustainable state” elaborated from the perceived targets or conditions judged by the stakeholders. This analysis is started by judgments of the stakeholders to score the perceived targets of each indicator followed by the calculation of sustainability index of criteria (SIC). It shows that the economic criterion of sustainability is the highest among other sustainability criteria in Tarupa, Barrang Caddi and Rajuni Kecil, with SIC 3.70, 3.25 and 2.94 respectively. These three islands have more fishers doing destructive fishing than others. On the other hand, on islands where destructive fishing fishers are limited, the social criterion of sustainability has the highest SIC, i.e. Rajuni Besar (3.11) and Kapoposang (2.93).

Discussion

Resource system in the study sites is characterized by coral reef ecosystem. Taka Bonerate atoll where Tarupa, Rajuni Kecil and Rajuni Besar islands are located, have the average percent cover of coral colonies 40 to 59% in 1989, and 50% in 2000. Coral reef condition in Kapoposang Island in 2003 is 70% in good condition, while in Barrang Caddi only 20% that in good condition.

Much of the degraded condition of the reef is due to direct human conduct e.g., fishing using bomb and poison, also coral taking. The surveys in 2004 and 2005 show that the use of bomb and poison fishing has been proliferated, particularly in Tarupa, Rajuni Kecil and Rajuni Besar. The rate poison fishers in Barrang Caddi largely stay unchanged. Kapoposang remains do not have fishers using bomb or poison fishing.

The results from the sustainability index of criteria (SIC) in each island are comparable with the rate of destructive fishery.

§ In Tarupa, the economic criterion of sustainability is high, while there were high incidents and resident fishers using destructive tools.

§ Rajuni Kecil has high both the economic and social criteria of sustainability.

§ Rajuni Besar has more balanced on three criteria of sustainability: institutional, social and ecological, but quite low on the economic criterion of sustainability. There were limited fishers using bomb or poison fishing, even though now the number is increasing.

§ Barrang Caddi is similar with Tarupa, having high economic criterion of sustainability. But it has low in other criterion of sustainability: institutional, social and ecological. One half of the fishermen in this island has been using poison fishing.

§ Kapoposang has high on social and ecological criterion of sustainability, but low in economic and institutional.

Conclusion

The study concludes that the sustainability index of criteria (SIC) in each island are comparable with the rate of destructive fishers. In general, islands with low rate of destructive fishery have low on the economic criterion of sustainability, like in Rajuni Besar and Kapoposang islands. But these islands have high ecological criterion of sustainability. In contrast, islands with high economic criterion of sustainability have high number of fishers using bomb or poison fishing, that is Tarupa, Rajuni Kecil and Barrang Caddi.

The study shows that the idea of sustainability in different aspects – ecological, social, economic and institutional – can be introduced and assessed at the local level, especially to resource users. The process uses a mixed-method approach, in which it combines expert-driven fisheries sustainability indicators (Pitcher 1999) and then these indicators are confirmed to the local stakeholders in order to generate a “local accepted” fishery sustainability indicators.

This undertaking promotes a recognition to the ability of local resource users to assess and eventually to be responsible and guard the resource system they dependent upon. The method of participatory multi-criteria analysis can complement other scientific undertaking in planning, development, and management of social-ecological systems (SES) in the coastal area.

References

Adrianto, L., Y. Matsuda and Y. Sakuma. 2005. Assessing local sustainability of fisheries system: a multi-criteria participatory approach with the case of Yoron Island, Kagoshima prefecture, Japan. Marine Policy 29: 9-23

Berkes, F. 2005. The Scientist as Facilitators or Adaptive Co-Manager? The Common Property Resource Digest. No 75. Pp. 4-5

Coremap – ACIL. 2000. Zonation Plan Taka Bonerate National Park. Coremap. Jakarta.

DKP South Sulawesi. 2003. Data Kondisi Terumbu Karang Tahun 2003 Untuk Menetapkan Prioritas Lokasi Rehabilitasi.

Mendoza, G.A. and R. Prabhu. 2003. Qualitative multi-criteria approaches to assessing indicators of sustainable forest resources management. Forest Ecology and Management 174: 329-343

Mendoza, G.A. and R. Prabhu. 2004. A Community-driven Multi-criteria Approach to Developing Indicators of Sustainable Resource Management. Journal of Forest Policy. 10: 1-21.

Pitcher, T.J. 1999. Rapfish, a rapid appraisal technique for fisheries, and its application to the Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO Fisheries Circular. No. 947. Rome, FAO.

Soekarno, R. 1989. Comparative Studies on the Status of Indonesian Coral Reefs. Netherlands Journal of Sea Research, Vol. 23, No. 2, pp. 215-222.

Weisbuch, G. 2000. Environment and institutions: a complex dynamical systems approach. Ecological Economics 34: 381-391.

Wilson, S. 2005. Knowledge for Commons Management: A Commons for the Commons. The Common Property Resource Digest. No 75. Pp. 1-4

Valuasi Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan Konservasi Terumbu Karang

Posted April 25, 2008 by coastaleco
Categories: Makalah

Oleh: Achmad Fahrudin

1. Latar Belakang

Sumberdaya wilayah pesisir, termasuk kawasan konservasi terumbu karang, merupakan sumberdaya alam yang bersifat milik umum (public good), terbuka, dan tidak mengikuti hukum kepemilikan. Selain itu, beberapa unsur sumberdayanya tidak memiliki mekanisme pasar dimana harga dapat berperan sebagai instrument penyeimbang antara permintaan dan penawaran.

Manusia yang dipandang sebagai homoeconomicus cenderung akan memaksimumkan manfaat total. Hal ini terlihat dari adanya indikasi over eksploitasi sumberdaya wilayah pesisir dan eksternalitas negatif dari kegiatan pembangunan wilayah pesisir.

Berdasarkan uraian tersebut maka perlu: 1) adanya penilaian secara benar dan menyeluruh sehingga alokasi pemanfaatan sumberdaya pesisir dapat dilakukan secara proporsional, dan 2) adanya penilaian terhadap biaya lingkungan dan sosial (environmental and social cost) dan menginternalisasikannya ke dalam kebijakan ekonomi dan pembangunan. Teknik valuasi ekonomi sumberdaya wilayah pesisir sangat diperlukan untuk tujuan tersebut.

2. Definisi

Valuasi ekonomi kawasan konservasi terumbu karang adalah suatu cara penilaian atau upaya kuantifikasi barang dan jasa yang terdapat pada kawasan konservasi terumbu karang ke dalam nilai uang, terlepas dari ada atau tidaknya nilai pasar dari barang dan jasa tersebut. Nilai ekonomi diukur dalam terminologi kesediaan membayar untuk mendapatkan barang dan jasa tersebut (willingness to pay).

3. Kegunaan

Kegunaan dari valuasi ekonomi kawasan konservasi terumbu karang adalah:

1. Sebagai alat bantu untuk mendapatkan manfaat barang dan jasa sumberdaya di kawasan konservasi terumbu karang secara bijaksana dan proporsional.

2. Sebagai pintu gerbang proses internalisasi biaya lingkungan dan sosial ke dalam kegiatan ekonomi dan pembangunan yang merupakan upaya nyata implementasi konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

4. Sasaran

Sasaran dari valuasi ekonomi sumberdaya di kawasan konservasi terumbu karang adalah:

1. Sumberdaya biofisik di kawasan konservasi terumbu karang,

2. Jasa lingkungan yang disediakan kawasan konservasi terumbu karang.

5. Konsep Willingnes To Pay (WTP), Willingnes To Accept (WTA) dan Kesejahteraan Sosial

Total kesejahteraan sosial dari konsumsi barang atau jasa adalah setara dengan jumlah kesediaan membayar (WTP) dari seluruh individu. Jumlah ini termasuk 1) pengeluaran untuk memperoleh barang dan jasa, dan 2) surplus konsumen. Kegunaan marjinal atau manfaat yang diperoleh dari konsumsi setiap tambahan unit barang dan jasa diasumsikan berkurang. Dengan demikian WTP untuk setiap tambahan unit juga berkurang.

Penggunaan harga pasar dikalikan dengan jumlah konsumsi merupakan estimasi minimal dari kegunaan dalam pemanfaatan barang atau jasa lingkungan. Surplus konsumen harus diperhitungkan untuk memperoleh manfaat utuh dari setiap individu. Surplus konsumen dalam hal ini adalah konsep nilai bersih dari pengeluaran. Terlihat bahwa barang dan jasa lingkungan yang tak memiliki harga pasar akan menghasilkan surplus konsumen yang sangat besar karena harganya sama dengan nol, sehingga bila musnah akan mengakibatkan hilangnya kegunaan yang sangat besar pula.

Bila diasumsikan bahwa pasar 1) bebas dari gangguan dan 2) distribusi pendapatan merata dalam masyarakat, maka kurva permintaan individu dapat diaggregasikan menjadi kurva permintaan pasar. Dengan demikian kurva permintaan pasar akan mencerminkan total WTP untuk barang dan jasa lingkungan. Kedua asumsi ini sangatlah kuat.

WTA adalah nilai kegunaan awal individu dari barang dan jasa sebelum ada perubahan atau kesediaan individu untuk menerima kompensasi bila barang dan jasa tersebut dimanfaatkan oleh individu lain atau diubah pemanfaatannya. Perhatikan pertanyaan berikut ini:

  1. Berapa banyak anda ingin dibayar bila kawasan terumbu karang ini diubah menjadi kawasan konservasi?
  2. Berapa banyak anda ingin dibayar bila anda dimohon untuk tidak merusak terumbu karang ini?

Bandingkan dengan WTP yang mempertanyakan hal ini: berapa besar anda kehilangan pendapatan yang sama dengan perubahan kesejahteraan akibat perubahan terumbu karang menjadi kawasan konservasi?

Pemilihan penggunaan konsep WTP dan WTA dalam menilai sumberdaya berkaitan erat dengan status kepemilikan sumberdaya (property right). Pada kasus dimana sumberdaya pesisir telah memiliki sistem penguasaan yang sudah baik, WTA untuk kompensasi kehilangan hak penguasaan menjadi lebih relevan daripada WTP. Secara umum konsep WTP digunakan dalam situasi dimana pengguna sumberdaya tidak secara jelas memiliki sumberdaya tersebut (barang publik, misal terumbu karang). Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa rejim kelembagaan yang ada di wilayah pesisir.

6. Penawaran pasar dan biaya korbanan

Estimasi manfaat dari penggunaan sumberdaya pesisir juga mencakup biaya sosial. Pada barang dan jasa yang dijual di pasar sempurna, harga pasar akan mencerminkan biaya sesungguhnya dari masyarakat untuk memanfaatkannya dengan alternatif pemanfaatan terbaik. Manfaat bersih yang dapat diturunkan dari alternatif pemanfaatan terbaik disebut biaya korbanan sosial (social opportunity cost) atau harga bayangan (shadow price). Bagi produsen biaya marjinal akan meningkat sejalan dengan jumlah output, karena faktor-faktor teknologi dan karena sumberdaya sebagai bahan proses produksi akan semakin langka. Penawaran pasar dari barang dicerminkan oleh kurva biaya marjinal yang meningkat sejalan dengan jumlah produksi. Surplus produsen adalah perbedaan antara penerimaan dari penjualan produk dengan biaya total produksi, atau biaya korbanan dalam pasar yang sempurna. Surplus produsen umumnya disebut sebagai rente ekonomi (economic rent) atau rente sumberdaya (resource rent) pada kasus sumberdaya alam.

Pada kasus sumberdaya pesisir (barang dan jasa) yang tidak diperdagangkan dalam pasar, biaya sosial adalah biaya korbanan dari hilangnya manfaat bagi pengguna. Sebagai contoh, terumbu karang yang diambil untuk bahan bangunan juga dapat dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata, sebagaimana perannya dalam mendukung produksi perikanan. Nilai pemanfaatan tersebut akan lenyap bila terumbu karang diambil, yang mencakup biaya korbanan, paling sedikit sama dengan surplus konsumen yang dihasilkan oleh pemanfaatan untuk rekreasi. Dalam valuasi ekonomi ada kaitan antara biaya dan manfaat, manfaat yang hilang adalah biaya dan biaya yang dapat dihindari adalah manfaat (Dixon et al 1983).

7. Nilai Ekonomi Terumbu Karang

Indonesia memiliki sekitar 17.500 km2 ekosistem terumbu karang (Moosa, et al, 1987) tersebar di seluruh wilayah perairan pesisir yang jernih, hangat, beroksigen serta bebas dari padatan terlarut dan aliran air tawar yang berlebihan. Terumbu karang Indonesia sangat beragam dan kaya. Seluruh tipe terumbu karang yang mencakup terumbu karang melingkar, terumbu karang penghadang, atol dan bongkahan terumbu karang (fringing reefs, barrier reefs, atoll, patch reefs) terdapat di perairan laut Indonesia.

Terumbu karang menyediakan berbagai pemakaian langsung dan tak langsung yang bermanfaat bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat pesisir. Pemakaian yang paling dominan dan paling bernilai adalah besarnya hasil yang dapat diperoleh dari sumberdaya perikanan laut yang didukung oleh ekosistem terumbu karang dengan estimasi sebesar 5 ton/km2 (Snedaker and Getter, 1985). Hasil ini tak terbatas pada ikan dan crustacea yang sesungguhnya dipanen dari ekosistem terumbu karang tetapi juga mencakup sejumlah besar varitas dan kuantitas organisme yang bergantung pada ekosistem terumbu karang. Potensi panen lestari (MSY) ikan karang di perairan laut Indonesia diduga sebesar 80.082 ton/tahun (Ditjen Perikanan, 1991). Dengan luas areal terumbu karang Indonesia sekitar 17.500 km2 berarti potensi lestari ikan karang di Indonesia 4,57 ton/tahun/km2. Perikanan karang komersial dan subsisten memiliki kontribusi yang nyata terhadap ekonomi Indonesia. Masyarakat pesisir, khususnya yang tinggal di pulau-pulau kecil (Nias, Siberut, Kepulauan Seribu, Taka Bone Rare, Tukang Besi dan Padaido) telah memenfaatkan sumberdaya ikan, rumput laut dan sumberdaya biologis lainnya untuk kehidupannya selama berabad-abad. Selanjutnya di beberapa bagian Indonesia, terumbu karang secara tradisional telah dipakai oleh masyarakat pesisir untuk mendukung kehidupannya dengan memanfaatkan berbagai jenis ikan dan invertebrata lainnya (Burbridge and Maragos, 1985).

Pada dekade terakhir, keindahan alami dan keunikan terumbu karang menarik jutaan turis domestik dan mancanegara untuk datang ke Indonesia. Tempat seperti Pulau Nias, Siberut, Kepulauan Seribu, Bunaken, Taka Bone Rate, Gili Trawangan (Lombok Barat), Seram dan Teluk Cendrawasih yang memiliki keindahan terumbu karang menjadi tujuan utama wisatawan. Nilai ekonomis wisata bahari ini sangat tinggi karena tak hanya menghasilkan devisa tetapi juga efek pengganda lainnya seperti perdagangan lokal dan regional, perniagaan, hotel dan restoran.

Struktur terumbu karang juga melindungi pulau, pantai yang bernilai, dan kawasan industri dari ganasnya gelombang dan badai dan tenaga alami lainnya di laut. Sebagai tambahan, telah dilaporkan bahwa ekosistem terumbu karang memiliki peran utama dalam mengurangi pemanasan global karena fungsinya sebagai penangkap karbon yang besar. Penambangan karang telah didokumentasi sebagai bahan konstruksi, pembuatan jalan, dan produksi kapur di berbagai tempat di Indonesia (Praseno dan Sukarno, 1977; Dahuri, 1991).

Dari sudut pandang keanekaragaman hayati dapat dikatakan bahwa trumbu karang merupakan ekosistem yang sangat kompleks yang mendukung banyak kehidupan. Terumbu karang telah diidentifikasi memiliki nilai konservasi yang tinggi seperti hutan hujan karena keragaman biologis, secara estetika menarik, dan memiliki fungsi sebagai cadangan keanekaragaman genetika (Hatcher et al, 1990).

8. Teori Valuasi Ekonomi Sumberdaya Wilayah Pesisir

Nilai ekonomi total (total economic value = TEV) dari sumberdaya sebagai asset merupakan jumlah dari nilai pakai (use value=UV) dan nilai bukan pemakaian (non use value=NUV) (Pearce and Morran, 1994 dan Barton, 1994). Nilai pakai adalah suatu nilai yang timbul dari pemanfaatan aktual terhadap sumberdaya yang terdapat dalam ekosistem.

Nilai pakai terbagi menjadi nilai pakai langsung (direct use value=DUV), nilai pakai tidak langsung (indirect use value=IUV) dan nilai pilihan (option value=OV). Nilai pakai langsung merupakan nilai penggunaan aktual seperti penggunaan perikanan dan kayu dari ekosistem hutan mangrove. Nilai pakai tidak langsung merupakan manfaat yang diturunkan dari fungsi ekosistem seperti fungsi hutan mangrove dalam perlindungan lahan pesisir dari erosi dan dalam penyediaan pakan bagi perikanan lepas pantai.

Nilai pilihan adalah nilai yang menunjukkan keinginan individu untuk membayar bagi konservasi sumberdaya pesisir dan laut guna pemakaian masa mendatang seperti pengembangan bahan farmasi dan kultivar pertanian baru. Dengan kata lain, nilai pilihan dapat diartikan sebegai premi asuransi dimana keinginan masyarakat untuk membayar guna menjamin pemanfaatan masa mendatang dari sumberdaya pesisir dan laut (UNEP, 1993).

Nilai bukan pemakaian terdiri dari nilai waris (bequest value=BV) dan nilai eksistensi (existence value=EV). Nilai waris mengukur manfaat individual dari pengetahuan bahwa orang lain akan memperoleh manfaat dari sumberdaya pesisir dan laut di masa mendatang. Nilai eksistensi menggambarkan keinginan masyarakat untuk membayar konservasi sumberdaya pesisir dan laut itu sendiri tanpa mempedulikan nilai pakainya. Contoh nilai eksistensi sumberdaya pesisir dan laut adalah kepedulian individu terhadap perlindungan koral biru atau ikan napoleon meskipun ia tidak melihat dan tak akan pernah melihatnya (Randall and Stoll, 1983). Dengan demikian nilai ekonomi total sumberdaya pesisir dan laut dapat dituliskan sebagai berikut: TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + (BV + EV).

9. Metoda Valuasi

Pada dasarnya valuasi ekonomi sumberdaya kawasan konservasi terumbu karang meliputi 3 tahap utama, yaitu : (1) identifikasi manfaat dan fungsi keterkaitan antar komponen sumberdaya pesisir dan laut, (2) kuantifikasi seluruh manfaat dan fungsi tersebut ke dalam nilai uang, dan (3) penilaian alternatif alokasi pemanfaatan lahan pesisir.

1) Identifikasi Manfaat

Manfaat yang dapat diperoleh dari kawasan konservasi terumbu karang antara lain:

  1. manfaat langsung berupa Perikanan tangkap, Marikultur, Perdagangan Akurium, Kapur, Bahan Obat, Bahan Konstruksi, Genetic Material, Tourism, Penelitian, Pendidikan, dan Estetika,
  2. manfaat tidak langsung berupa Penyedia pakan untuk kura-kura dan burung laut, Physical Protection untuk: Garis pantai, Navigasi dan Ekosistem lain,
  3. manfaat pilihan berupa Species, habitat dan biodiversity,
  4. manfaat eksistensi berupa Habitat terancam punah, species langka dan estetika,
  5. manfaat waris berupa Species, habitat dan tradisi (Barton, 1994).

2) Kuantifikasi Manfaat

Berikut ini adalah beberapa teknik kuantifikasi manfaat yang dapat digunakan pada kawasan terumbu karang:

(a) Perubahan Pendapatan (Change in Productivity)

Suatu proyek pembangunan atau pemanfaatan sumberdaya pesisir dapat mempengaruhi produktivitas secara positif atau negative. Analisa ini didasarkan atas situasi dengan proyek dan tanpa proyek. Misalkan, bila proyek pembukaan lahan mangrove menyebabkan penurunan hasil tangkapan ikan 20% pertahun maka proyek ini menimbulkan kerugian ekonomi setara dengan hilangnya hasil produksi sebesar 20% per tahun.

(b) Kehilangan Pendapatan (Lost of Earning)

1. Proyek pemanfaatan lahan pesisir seringkali mengakibatkan kemunduran mutu lingkungan dalam berbagai bentuk.

2. Hal ini dapat menimbulkan dampak berupa menurunnya kesehatan penduduk dan kualitas kerja.

3. Bila dampak ini menyebabkan penduduk harus mengeluarkan biaya tambahan pemeliharaan kesehatan Rp 50.000,00/kapita/tahun maka nilai jasa lingkungan adalah Rp 50.000, 00/kapita/tahun. Contoh lain, bila dampak ini menyebabkan kematian seorang laki-laki berumur 30 tahun yang berpeluang hidup sampai 60 tahun dengan pendapatan Rp 20.000,00/hari, maka nilai jasa lingkungan peisisr adalah (Rp 20,000/Hari x 30 hari/bulan x 12 bulan/hari x 30 tahun) = Rp 226.000,00. Asumsi dapat bekerja selama 30 tahun dengan penghasilan tidak berutah.

(c) Biaya Terluang (Opportunity cost)

1. Adalah hasil keuntungan yang dapat diperoleh dari alternative investasi yang diabaikan.

2. Metoda ini dapat dipakai untuk menghitung nilai ekonomi suatu proyek pemanfaatan lahan pesisi yang tidak dapat diukur dengan menggungkan nilai pasar

(d) Biaya Preventif (Preventive Expenditure)

1. Adalah biaya yang diperlukan untuk mencegah terjadinya dampak lingkungan yang merugikan.

2. Contoh limbah organic yang terbuang dari industri pengalengan ikan atau industri cold storage dapat menyebabkan penurunan kualitas air tempat pembuangan limbah tersebut. Biaya pengolahan air limbah (waste water treatment cost), misalkan Rp 1 milyar, agar tidak mencemari lingkungan atau tidak melampaui baku mutu, dapat dianggap sebagai nilai kerugian yang diakibarkan oleh pembuangan limbah organik tersebut

(e) Biaya Properti (Hedonic Price Method)

1. Teori dasar adalah adanya keterkaitan antara permintaan atau produksi komoditi yang dapat dipasarkan (Marketable commodity) dengan yang tidak dapat dipasarkan (non-market able commodity)

2. Contoh: (1) hasil tangkapan ikan dalam suatu area tertentu merupakan fungsi dari kualitas perairan, (2) Nilai keindahan alam dan udara bersih suatu pantai dapat dinilai melalui harga rumah tinggal yang berlokasi sesuai dengan criteria yang dimaksud. Dengan kata lain, harga rumah di suatu lokasi merupakan fungsi dari kualitas udara dan keindahan alamnya.

3. Langkah pelaksanaannya:

1. Identifikasi kualitas lingkungan, issu penting ketersediaan data sekunder.

2. Tentukan cara pengukuran kualitas l;ingkungan (bising dengan db, udara dengan kandungan partikulat, SO2, air dengan BOD, COD dll.)

3. Spesifikasi fungsi persamaan hedonic

4. Pengumpulan data

5. Pengolahan data

6. Interpretasi

7. Pembuatan Laporan

(f) Perbedaan Upah

1. Teori dasar menyatakan: (1) pada pasar bersaing sempurna permintaan tenata kerja setara dengan nilai produk marjinal, (2) pemasokan tenaga kerja berbeda dari satu dengan tempat lain karena perbedaan kondisi dan kualitas lingkungan kerja, (3) pekerja dapat memilih tempat pekerjaannya dengan leluasa tanpa adanya tekanan dari pihak manapun.

2. Contoh, seorang pekerja pabrik pengalengan ikan yang berlokasi di suatu daerah tercemar (udara, air dll.) bersedia dibayar Rp 30.000/hari. Seorang pekerja lainnya bekerja di pabrik pengalengan ikan yang berlokasi di suatu tempat yang tidak tercemar bersedia hanya dibayar Rp 15.000/hari. Perbedaan sebesar Rp 15.000 merupakan nilai kualitas lingkungan tersebut.

(g) Biaya Perjalanan (Travel Cost Method)

1. Dapat digunakan untuk menilai daerah tujuan wisata alam

2. Dilakukan dengan cara survei biaya perjalanan dan atribut lainnya terhadap responden pengunjung suatu obyek wisata

3. Biaya perjalanan total merupakan biaya perjalanan PP, makan dan penginapan.

4. Melalui survey ini kurva permintaan dan surplus konsumne dapat ditentukan.

5. Surplus konsumen merupakan nilai ekonomi lingkungan obyek wisata tersebut.

(h) Proksi Terhadap Harga Pasar

1. Dapat digunakanb untuk menilai jasa lingkungan dan SDA yang memiliki korelasi erat dengan komoditas lain yang dapat dipasarkan.

2. Misal, nilai ranting mangrove sebagai kayu bakar dapat diduga dengan harga minyak tanah.

(i) Biaya Pengganti

1. Dapat digunakan untuk menilai ekosistem yang telah rusak.

2. Nilai kerusakan suatu ekosistem terumbu karang ekuivalen dengan biaya pembuatan terumbu karang buatan.

3. Nilai hutan mangrove sebagai tempat pemijahan benur ekuivalen dengan biaya pembuatan tempat pemijahan.

(j) Metoda Kontingen (Contingen Valuation Method)

a. Adalah salah satu metoda valuasi melalui survey langsung mengenai penilaian responden secara individual dengan cara menanyakan kesediaan untuk membayar (willingness to pay) terhadap suatu komoditi lingkungan atau terhadap suaru sumber daya yang non marketable. N ndikatakan contingent, karena pada kondisi tersebut responden seolah-olah dihadapkan pada pasar yang sesungguhnya dimana sedang terjadi transaksi.

b. Metoda ini selain dapat digunakan untuk mengkuantifikasi nilai pilihan, nilai eksistensi dan nilai pewarisan juga dapat digunakan untuk menilai penurunan kualitas.

c. Ada 4 macam tipe pertanyaan, yaitu (1) Direct Question Method disebut juga pertanyaan terbuka, (2) Bidding Game, (3) Payment Card, (4) Take it or leave it.

d. Ada lima macam (sumber) bias yang perlu diwaspadai, yaitu (1) strategic bias, (2) starting point bias, (3) hyphotetical bias, (4) sampling bias. (5) commodity specification bias.

e. Prosedur Pelaksanaan Survei CVM terdiri dari 10 tahap, yaitu:

1. Identifikasi issu atau dampak lingkungan yang akan dinilai

2. Identifikasi populasi yang terkena dampak atau yang memanfaatkan sumberdaya tersebut atau yang mengerti betul.

3. Tetapkan prosedur survey, kapan dan dimana

4. Tentukan cara sampling dan pemilihan sample.

5. Disain kuisioner meliputi jenis dan isi pertanyaan.

6. Melakukan pelatihan terhadap surveyor mengenai tata cara survey.

7. Lakukan uji pendahuluan kuisioner (pretes) untuk meminimalkan bias yang mungkin terjadi

8. Pelaksanaan survey dan ekstraksi data

9. Pengolahan data

10. Penulisan laporan

Berikut ini contoh penerapan teknik kuantifikasi manfaat pada kawasan terumbu karang:

  1. Pelindung pantai: Replacement cost untuk terumbu buatan atau pembuatan breakwater pelindung pantai
  2. Biodiversitas: Contingent valuation untuk mempertahankan habitat
  3. Fishing ground: Change in Production atau Effect on productivity (EOP) terhadap kegiatan perikanan tangkap.
  4. Mariculture: Effect on productivity (EOP) terhadap kegiatan mariculture.
  5. Tourism: Travel cost method (TCM) dari kegiatan wisata bahari.
  6. Construction material dan sumber kapur: Surrogate goods (market proxy) dari material konstruksi.
  7. Research and education: Contingent valuation terhadap kepentingan penelitian dan pendidikan
  8. Genetic and drugs: Surrogate market dengan kemungkinan penemuan baru (probality of discoveries)

3) Penilaian Alternatif Alokasi Pemanfaatan Lahan Pesisir

Penilaian alternatif alokasi pemanfaatan terumbu karang dengan menggunakan Cost-Benefit Analysis (CBA), yang merupakan net present value dengan menghitung manfaat yang diperoleh dari penggunaan terumbu karang, termasuk manfaat eksternalitas, dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh manfaat dari penggunaan terumbu karang, termasuk biaya eksternalitas, dalam kurun waktu tertentu serta mempertimbangkan faktor diskonto (discount rate).

10. Pengembangan Masyarakat Pesisir

Konsep pengembangan masyarakat pesisir merefleksikan karakteristik wilayah pesisir, karakteristik masyarakat pesisir dan pengelolaan wilayah pesisir disatu pihak; dan konsep pengembangan masyarakat secara umum. Jadi terjadi irisan (intersection) antara komponen-komponen tersebut, sehingga secara spesifik dapat membedakan antara pengembangan masyarakat petani atau masyarakat pedalaman lainnya.

Konsep pengembangan masyarakat (community development) merupakan konsepsi yang dinamis, dimana pada awalnya masih sering dipertukarkan dengan istilah community work, community organisation, community action, community practice maupun community change (Ife, 2002), dimana konsep pengembangan masyarakat juga dapat dipandang dari sisi proses (Piterson, 1979), maupun pada sisi dinamika perubahan perubahan perencanaan (Wileden, 1970) atau bahkan sebagai proses, metode, program atau gerakan (Sanders, 1958). Sejalan dengan sejarahnya, maka pengembangan masyarakat juga mengalami evolusi pemahaman yang dituangkan dalam konsepsi-konsepsinya, baik dalam hal proses maupun keterlibatan kelembagaan.

Konsep PBB (1960) menyatakan pengembangan masyarakat adalah proses yang memfasilitasi usaha yang dilakukan masyarakat sendiri dipadukan dengan kewenangan pemerintahnya untuk meningkatkan kondisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Sementara Poston (1962) membawa konsep perspektif internasional dan nasional yang luas menyangkut aktivitas populasi yang besar untuk meningkatkan kesejahteraan. Seperti halnya pada konsepsi sebelumnya, Brokensha dan Hidge (1968) menggaris bawahi adanya pergerakan yang terarah dan bersifat partisipatif dengan inisiatif oleh masyarakat. Secara lebih tajam dan jelas tercermin dalam konsep Cristenson dan Robinson (1980), bahwa dalam proses pengembangan masyarakat terjadi kerjasama masyarakat dalam bingkai pembagian keputusan untuk membangun inisiatif bersama.

Pada fase berikutnya, keterlibatan masyarakat juga tetap disinggung (Twelvetrees, 1991). Sementara untuk kasus di Indonesia, van Beers dan Colley (1972) dalam kepentingan membangun persepsi tentang proses pengembangan masyarakat di Pulau Jawa, menekankan adanya terminologi membantu diri sendiri (assisted self help). Dalam kerangka yang lebih global dan lebih kini Ife (2002) mengajukan pengertian bahwa pengembangan masyarakat adalah suatu proses membangun atau membangun kembali struktur masyarakat dengan cara baru yang lebih memungkinkan untuk mengubungkan, mengorganisasikan kehidupan sosial dan memenuhi kebutuhan manusia.

Telaah konsepsi juga menunjukan secara historis terjadi perubahan keterlibatan kelembagaan serta cakupan. Namun demikian, konsepsi-konsepsi tersebut menunjukan konsistensi pelibatan proses dalam pengembangan masyarakat seperti kerterlibatan masyarakat (partisipasi), kerjasama, proses/ kegiatan terencana serta aspek intervensi (sosial, ekonomi dan budaya) dan tujuannya meningkatkan taraf hidup. Sehingga dalam konsepsi pengembangan masyarakat dimanapun, terminologi tersebut harus menjadi bagian yang elementer. Seperti telah disebutkan diawal, maka konsep pengembangan masyarakat pesisir juga harus merefleksikan konsep-konsep besar tersebut. Secara umum, pengembangan masyarakat pesisir adalah proses partisipatif yang terencana untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir.

Secara praktis, pihak yang dapat dan mampu untuk mengembangkan masyarakat pesisir terdiri dari banyak pihak, baik pemerintah, lembaga masyarakat, perguruan tinggi atau perusahaan (swasta). Oleh karena itu, dalam kaitan dengan pengetrian pengembangan masyarakat perlu ditambahkan unsur pelaku yang jelas. Untuk mengakomodasikan kepentingan ini, maka pengertian pengembangan masyarakat pesisir dapat dinyatakan sebagai :

upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir secara partisipatif yang terencana

Berdasar pada pengertian ini, maka terdapat unsur-unsur pokok yang perlu dielaborasi lebih lanjut. Unsur-unsur tersebut meliputi unsur partisipatif, terencana dan meningkatkan kualitas hidup. Partisipatif dalam konsep ini mempersyaratkan bahwa sasaran program terlibat baik dalam proses perencanaan sampai dengan evaluasi. Namun demikian, evaluasi yang melibatkan masyarakat, dilakukan pada program dan komponen program yang telah direncanakan dan disepakati oleh masyarakat.

Sementara itu, terencana, menunjukkan bahwa program pengembangan masyarakat adalah kegiatan yang telah terencana sebelumnya, sehingga dapat menjamin keberlanjutan hasil program. Sedangkan pengertian meningkatkan kualitas hidup masyarakat merupakan konsepsi yang luas, yang idealnya mencakup pada seluruh aspek kehidupan masyarakat. Oleh karenanya secara umum, pengembangan masyarakat pesisir mencakup kegiatan phisik dan non phisik, dimana intervensi program pada masyarakat dapat dikelompokan menjadi infrastruktur (fisik dan non fisik), pelayanan dan pengembangan kapasitas.

11. Prinsip-prinsip Pengembangan Masyarakat Pesisir

Secara teoritis, pendekatan program pengembangan masyarakat dikelompokan dalam dua kelompok besar (Twelvetrees, 1991 dalam Suharto, 2005) yaitu profesional (tradisional, netral, teknikal) dan radikal (transformasional). Kedua pendekatan tersebut mempunyai perspektif dan tujuan yang berbeda. Pada pendekatan profesional perspektifnya adalah merawat, mengorganisasikan dan membangun masyarakat dengan tujuan meningkatkan kesadaran dan inisiatif masyarakat, serta memperbaiki pelayanan sosial pada kelas sosial yang ada. Sementara pada pendekatan radikal lebih ditekankan pada aksi masyarakat, baik berdasar kelas, jender atau ras untuk meningkatkan kesadaran, memecahkan masalah ketertindasan dan membangun strategi dan kerjasama melakukan perubahan sosial. dan kelompok.

Secara konseptual, model pengembangan masyarakat juga dapat dikelompokan menjadi pengembangan masyarakat lokal, perencanaan sosial dan aksi sosial (Rothman, 1968 dalam Suharto, 1997), dimana masing-masing model mempunyai indikator dan tujuan yang berbeda pada setiap parameternya. Namun pada prakteknya, ketiga model tersebut saling berinteraksi satu sama lain di lapangan.

Meski, secara de jure sumberdaya di wilayah pesisir tergolong controlled access, pada kenyataannya secara de facto sebagian sumberdaya yang berada di wilayah pesisir bersifat terbuka atau dapat dimanfaatkan oleh siapapun (open access resources), sehingga pemanfaatannya seringkali menimbulkan konflik. Peningkatan jumlah pemanfaat sumberdaya (user) dan semakin terbatasnya sumberdaya dapat menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir sebagai pengguna sumberdaya tersebut. Pengaturan kuantitas pemanfaatan sumberdaya agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan seringkali tidak berhasil akibat sulitnya mengatur pengguna sumberdaya yang bersifat open access. Berdasarkan uraian tersebut, program pengembangan masyarakat harus didukung oleh pembentukan kelembagaan yang mampu mengatur pemanfaatan sumberdaya. Kelembagaan yang dimaksud tidak harus kelembagaan baru, tetapi dapat menggali dan menghidupkan kembali kelembagaan lokal (local wisdom) yang pernah ada dalam mengatur pemanfaatan sumberdaya pesisir.

Sumberdaya pesisir, terutama sumberdaya hayati perairan, merupakan sumberdaya yang dinamis dalam ruang dan waktu. Ini berarti ketersediaan sumberdaya hayati pesisir bersifat musiman karena proses rekruitmen dan migrasi. Proses rekruitmen pada berbagai jenis sumberdaya hayati pesisir yang berbeda waktu menyebabkan masyarakat pesisir harus menyediakan teknik pemanfaatan sumberdaya yang berbeda antar waktu. Migrasi sumberdaya hayati pesisir menyebabkan keterbatasan ketersediaan sumberdaya pada tempat dan kurun waktu tertentu serta keterbatasan jangkauan pengelolaan sumberdaya. Sifat sumberdaya pesisir sebagaimana yang telah diuraikan tersebut mengakibatkan resiko yang relatif tinggi harus dihadapi masyarakat pesisir dalam pemenuhan kebutuhannya.

Struktur masyarakat pesisir seringkali terkait dengan penguasaan modal sehingga hampir seluruh kegiatan masyarakat pesisir dikendalikan oleh pemilik modal, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pola hubungan masyarakat pesisir seperti ini terlihat dalam bentuk hubungan patron klien yang umumnya mengikat sangat kuat sehingga intervensi program pemberdayaan masyarakat harus menyentuh kedua lapisan masyarakat pesisir tersebut. Selain sebagai penguasa modal, lapisan masyarakat atas (patron) juga berperan sebagai penanggung resiko (risk taker) dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Kegagalan usaha pemanfaatan sumberdaya hayati pesisir ditanggung oleh pemilik modal, walaupun kemudian dihitung dalam bagi hasil secara tidak langsung pada usaha berikutnya.

Sifat sumberdaya pesisir dan pola hubungan masyarakat pesisir sebagaimana diuraikan di atas telah membentuk kebiasaan cash and carry dalam masyarakat pesisir. Usaha pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan harus menghasilkan uang sedapat mungkin pada saat yang bersamaan atau dalam tempo secepat mungkin. Tidaklah mengherankan bila di beberapa daerah pesisir terdapat kegagalan dalam program pengalihan mata pencaharian berbasis budidaya karena mengharuskan waktu tunggu yang cukup lama. Namun demikian, kegiatan pengolahan sumberdaya primer seperti pengolahan ikan menjadi ikan kering dan pengolahan kelapa menjadi kopra, mampu menghasilkan uang dalam waktu relatif cepat sehingga menjadi harapan alternatif mata pencaharian bagi masyarakat pesisir.

Ife (2002) mengembangkan prinsip-prinsip dasar pengembangan masyarakat secara umum yang meliputi domain yang sangat luas, dimana prinsip-prinsip tersebut asar dapat dikelompokan menjadi prinsip ekologis, keadilan sosial, unsur lokal, memperhatikan proses dan sesuai dengan prinsip nasional dan global.

.Secara mendasar, pengembangan masyarakat pesisir harus memenuhi kriteria-kriteria umum yang menyentuh aspek :

  1. Filosofis : menyentuh prinsip-prinsip dasar pengembangan masyarakat (ekololgis, keadilan sosial, memasukan unsur lokal, memperhatikan proses sesuai dengan prinsip lokal (nasional) dan global).
  2. Yuiridis : sesuai dengan regulasi yang ada
  3. Sosiologis : dapat diterima oleh masyarakat dan tidak menimbulkan gejolak.

Berdasarkan kerangka pemikiran kriteria umum diatas serta adanya rujukan prinsip dasar yang dikembangkan oleh Ife (2002), maka pengembangan masyarakat pesisir dilakukan dengan mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Partisipatif; menjamin agar masyarakat pesisir mempunyai peran serta baik pada tahap perencanaan, pengorganisasian, maupun pengawasan/ pengendalian dalam pelaksanaan program.

2. Berkelanjutan : menjamin kelangsungan aktivitas dari pengembangan masyarakat dengan mempertimbangkan nilai lokal dan daya dukung sosial, sumberdaya dan lingkungan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara gradual.

3. Kontinuitas: program pengembangan masyarakat pesisir bersifat terencana dan terus menerus serta saling terkait antar periode waktu pelaksanaan (multi years).

4. Akuntabilitas; pengembangan masyarakat pesisir dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggung jawabkan baik secara substansi keilmuan maupun dan mekanisme administrasi.

5. Keterpaduan dan kemitraan; mensinergikan program pengembangan masyarakat dengan program-program yang dikembangkan pemerintah maupun lembaga masyarakat lainnya yang sejalan dengan misi pengembangan masyarakat pesisir.

6. Holistik : meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat pesisir (ekologis, sosial, ekonomi dan budaya).

7. Pemberdayaan : adalah mendukung masyarakat pesisir untuk mendapatkan sumberdaya, kesempatan, ekspresi, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kapasitasnya agar mampu menentukan masa depannya dan dapat berpengaruh pada kehidupan masyarakatnya.

8. Kepastian hukum; program pengembangan masyarakat pesisir tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.

12. Contoh Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan Terumbu Karang: Program Rehabilitasi Karang dan Perlindungan Fungsi Kawasan Konservasi Taman Nasional Kepulauan Seribu Secara Mandiri

Kelurahan Pulau Panggang merupakan salah satu produsen karang dan ikan hias. Namun masuknya Kelurahan Pulau Panggang dalam Zona Taman Nasional Kepulauan Seribu menyebabkan dilarangnya pengambilan karang hias langsung dari alam. Adanya larangan tersebut menyebabkan terjadinya pengambilan karang illegal dan perselisihan antara nelayan karang hias dengan pihak Balai TNKS. Mengatasi keadaan ini TNKS mengadakan sebuah program rehabilitasi karang.

Program rehabilitasi karang secara mandiri ini merupakan salah satu program yang diadakan Balai TNKS dengan melibatkan kerjasama antara pihak swasta, masyarakat dan pihak Balai TNKS dalam merehabilitasi karang yang telah rusak di Zona Pemukiman Taman Nasional Kepulauan Seribu. Adapun kegiatannya dilakukan dengan melakukan rehabilitasi alami dan semi alami. Kegiatan tersebut dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat melalui usaha budidaya karang untuk komersial. Penetapan lokasi transplantasi rehabilitasi karang alami dan semi alami dilakukan oleh Balai TNKS, berdasarkan pertimbangan masyarakat dan pihak terkait lainnya.

Usaha budidaya ini dilakukan dengan menggunakan teknik transplantasi karang, dimana masyarakat memberikan iklim kondusif kepada karang induk sehingga karang induk dapat spawning dan menyebarkan bakal anakan disekitarnya. Kemudian karang induk dipotong sehingga menghasilkan fragmen anakan karang generasi pertama yang akan diperdagangkan. Setelah 6 kali propagasi kemudian karang induk dikembalikan atau dilepas ke alam terutama pada daerah yang sangat rusak atau rusak. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan pembudidaya dalam program rehabilitasi ini pihak swasta berperan dalam penyediaan modal, teknologi dan pasar. Hasil yang diperoleh dari 4 model skala usaha diperoleh sebagai berikut:

a. Skala Usaha 1 dengan total biaya sebesar Rp 16.112.852,40, penerimaan sebesar Rp 18.136.363,44, dan keuntungan sebesar Rp 2.023.511,04,

b. Skala Usaha 2 dengan total biaya sebesar Rp 18.220.749,84, penerimaan sebesar Rp 22.750.000,00, dan keuntungan sebesar Rp 4.529.250,16,

c. Skala Usaha 3 dengan total biaya sebesar Rp 28.289.070,40, penerimaan sebesar Rp 36.000.000,00, dan keuntungan sebesar Rp 7.710.929,60,

d. Skala Usaha 4 dengan total biaya sebesar Rp 51.225.450,00, penerimaan sebesar Rp 72.000.000,00, dan keuntungan sebesar Rp 20.774.550,00.

Secara umum usaha budidaya ini belum berjalan seperti yang diharapkan dikarenakan masih terdapat beberapa permasalahan baik dari aspek teknis, ekonomi dan sosial. Permasalahan teknis diantaranya masih terdapat nelayan pembudidaya yang mengambil bibit diatas ketentuan yang telah ditetapkan yaitu sebesar 30% dari karang donor. Pengambilan bibit lebih dari 30% karang donor menyebabkan kerusakan bahkan kematian terhadap karang donor. Beberapa pembudidaya yang melakukan hal tersebut biasanya untuk mempermudah dan menghemat biaya, tetapi hal ini justru malah akan merusak sumberdaya terumbu karang. Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan lebih dalam pengambilan karang donor ini. Permasalahan kedua dalam pemilihan lokasi. Terdapat nelayan yang membudidayakan karang terlalu jauh dari lokasi sehingga sering terjadi kehilangan dan beberapa nelayan membudidayakan pada daerah yang tidak terlindung dari gelombang.

Permasalahan ketiga ditemukan pada penandaan karang karena banyak ditemukan karang tak bertaging pada beberapa pembudidaya, hal ini akan mempersulit dalam pengawasan karena akan menimbulkan ketidakjelasan waktu tanam karang tersebut. Permasalahan keempat mengenai pemeliharaan pemeliharaan dimana terdapat beberapa pembudidaya yang kurang merawat karangnya sehingga menimbulkan tingkat kematian karang dalam jumlah besar. Kemudian mengenai umur tanam karang seperti pada beberapa responden masih terdapat karang yang telah ditanam sesuai ukuran jual dan diambil sebelum waktu panen. Terakhir dalam hal pengepakan, sebagian besar nelayan menggunakan cara pengepakan tanpa kantong plastik sedangkan cara pengepakan ini mengakibatkan banyaknya karang yang rusak ketika sampai ke perusahaan mitranya dan ini menyebabkan banyak karang terbuang dan tidak laku untuk dipasarkan. Namun, kekurangan packing dengan kantong plastik adalah memakan biaya cukup besar, terutama dalam biaya packing serta ongkos kirim. Hal tesebut disebabkan pola pengepakan yang memakan banyak tempat. Namun secara ekonomi justru dengan pengepakan yang baik produksi karang lebih efisien dan efektif karena karang hasil budidaya tidak akan stress dan rusak sehingga tingkat kematian karang akan menurun dan karang lebih berkualitas.

Keberhasilan usaha budidaya di Kelurahan Panggang ini tidak hanya dapat dilihat secara teknis atau ekonomi. Suatu usaha budidaya dapat dikatakan berhasil juga dilihat dari aspek sosialnya berupa hubungan sosial masyarakat dengan pihak perusahaan serta dengan pihak lembaga atau Balai TNKS. Jika dilihat dari aspek sosial program rehabilitasi memiliki beberapa kekurangan terutama dalam pola hubungan antara perusahaan karang hias sebagai bapak angkat dengan nelayan pembudidaya. Hal ini merupakan salah satu faktor yang dialami oleh beberapa nelayan pembudidaya sehingga tidak dapat menjalankan usaha budidaya karang. Hubungan sosial antara nelayan dan perusahaan yang bermasalah di Kelurahan Panggang pada dasarnya dikarenakan rasa ketidak percayaan. Rasa ketidak percayaan muncul karena kurangnya keterbukaan dan komunikasi antara nelayan dan pembudidaya. Sehingga hubungan patron-klien tanpa rasa kepercayaan dan komunikasi yang kuat malah hanya akan merugikan pihak nelayan pembudidaya sebagai klien yang membutuhkan patron dalam membangun usaha.

Daftar Pustaka

Barton, D. N. 1994. Economic Factors and Valuation of Tropical Coastal Resources. SMR-report 14/94. Centre for Studies of Environment and Resources, University of Bergen, Norway.

Bunce, L. L., and Kent R. Gustavson. 1998. Coral reef valuation: a rapid socioeconomic assessment of fishing, water-sports, and hotel operations in the Montego bay marine park, Jamaica and an analysis of reef management implications. World Bank Research Committee Project #RPO 681-05

Cesar, H. S. J. 1996. Economic Analysis of Indonesian Coral Reefs. Working Paper Series. World Bank, Washington DC.

Ministry of Marine Affair and Fisheries Republic of Indonesia (MMAF). 2001. Country Status Overview (CSO): Exploitation and Trade of Reef Fishery in Indonesia. MMAF, International Marine Alliance (IMA) and Telapak Foundation. Jakarta.

Suharsono. 2001. Condition of Coral Reef Resource in Indonesia. Oceanological Research and Development Centre, Indonesian Science Agency. Paper presented in International Workshop on the Trade in Stony Corals: Development of sustainable management guidelines. Jakarta, April 9-12, 2001.

Spurgeon, J. P. G. 1992. The economic valuation of coral reefs. Mar. Poll. Bull. 24 (11): 529-536. ©Elsevier Science Ltd. Pergamon.

Wallace, C. C., Z. Richards, and Suharsono. 2001. Regional Distribution Patterns of Acropora and Their Use in the Conservation of Coral Reefs in Indonesia. Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources. 4(1):40-58

Agustono. 1996. Nilai Ekonomi Hutan Mangrove bagi Masyarakat (Studi Kasus di Muara Cimanuk, Indramayu). Tesis Magister Sains (Tidak Dipublikasikan). Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Barton, D. N. 1994. Economic Factors and Valuation of Tropical Coastal Resources. SMR-report 14/94. Center for Studies of Environment and Resources, University of Bergen. Norway.

Burbridge, P. R. and J. E. Maragos. 1985. Coastal Resources Management and Environmental Assesment Needs for Aquatic Resources development in Indonesia. International Institute for Environment and Development. Washington DC. USA.

Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting dan M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta.

Dixon, J. A. dan M. M. Hufschmidt. 1991. Teknik Penilaian Ekonomi terhadap Lingkungan. Suatu Buku Kerja Studi Kasus. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Fahrudin, Achmad. 1996. Analisis Ekonomi Pengelolaan Lahan Pesisir di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Tesis Magister Sains (Tidak Dipublikasikan). Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Lindeboom, H. J. and J. J. Sandee. 1989. Production and Consumption of Tropical Seagrass Fields in Easterm Indonesia. Measured with Bell Jars and Microelectrodes. Netherland Journal of Sea Research. 23: 181-190.

Mann, K. H. 1982. Ecology of Coastal Waters: A System Approach. Blackwell Scientific Publ. Univ. of Calif. Press, Los Angeles

The implementation of improvement of coral reefs uses

Posted April 23, 2008 by coastaleco
Categories: Jurnal

By: Achmad Fahrudin and Christian Noell

ABSTRACT

Coral reefs have played a significant role in coastal ecosystems and economics in Indonesia. The Government of Indonesia has released regulations and applied projects to manage coral reefs since 1978. Programs and actions to help coral reefs management have been carried out by national and international NGOs since early 1990s. Unfortunately, destructive fishing practices were still continued and have increased since economic crisis in 1997. The aims of this paper are to describe the reasons of destructive fishing practices and to analysis the implementation of better fishing methods. The study shows that the lack of integrated programs among government agencies has led to the open access property right of coral reefs. The improvement of coral reefs uses can be implemented if de facto open access of property right of coral reefs is changed to the more responsible and acceptable common property right. The fishermen and fish traders, coral collectors and coral traders, and tourism operators in certain coral reefs area can be integrated in one institution to share the use rights and responsibilities of coral reefs. This strategy must be followed by re-definition of working mechanisms among institutions involved in coral reefs management.

Keywords: coral reefs management, extended cost benefit analysis, marine resource economics

1. INTRODUCTION

Coral reefs area in Indonesia is about 14% of the world corals, but coral export is around 41% of world market. Unfortunately the use of destructive method to harvest reef organisms has threatened 71% of Indonesian coral reefs [1]. Destructive method is a major cause of coral reef degradation and is often related to poverty and coastal crowding. Studies based on the bio-economic model indicate that for many coral reef areas, a return to optimal resource use will require a reduction of fishing effort by 60% [2]. Effects of destructive fishing were investigated, and a balance-sheet model indicated that approximately 0.4% of the hermatypic coral cover has been lost by cyanide and 0.03% by coral-grabbing anchors. The potential coral recovery rate reduced by about one third, from 3.8% in the absence of disturbances to 2.4% annually [3].

The damage done by the cyanide fishery for is probably high because the number of target fish per unit reef area is hig. Mechanical reef destruction may be more extensive as large areas of branching corals as broken apart to retrieve the numerous target fish [4]. Commercial coral collection also suggests specific reductions of abundance and colony size range of harvested population [5].

Coral reef degradation will directly affect the abundance of reef fishes. Linear regression analysis showed that there was a highly significant positive relationship between live coral cover and total number of fish species and number of individuals. Species richness of most of coral fishes rose with increasing live coral cover [6]. Multiple linear regression analyses revealed that variation in potential living space accounted for over half of the variation in species richness and total abundance of fish on a coral. In contrast, species composition appeared to be influenced more by the physical setting within the lagoon. Relationship derived from the initial analyses predicted 65-78% of the variation in species richness among a different set of corals [7].

2. MATERIAL AND METHODS

Field surveys were done on Seribu Islands (Jakarta), Menjangan Island (Bali), and Gili Islands (Lombok). The main reason of selecting these three locations was to obtain a representation of different levels of coral reefs uses in Indonesia. The measurement campaigns were conducted over a one-year period, from March 2001 until March 2002. The measurements of physical parameters are important to ensure that the physical parameters, temperature (oC), salinity (o/oo), acidity (pH), and Visibility (%), are in normal condition. The measurements of biological parameters are important to estimate fish and coral abundance. The biological parameters, coral abundance (cm2/genus) and fish abundance (individual/species), are measured by direct observations (visual census) using quadrant transect method.

Cyanide fishermen (76 owners and 149 labours), coral collectors (30 owners and 60 labours), and 19 tourism operators were interviewed to gain the data of fish and coral harvest, fish and coral price, fishing cost, tourism revenue, and tourism cost. Fish and coral harvest, and fish and coral price were collected from daily fish and coral harvest record for each species, which were used to calculate benefit from fishing and coral collecting. This study used US$ as currency to valuing benefits and costs, and during the study period the rate was around Rp10,000.00/US$.

The Extended Cost Benefit Analysis (ECBA) model is used to estimate stochastic net present value, which calculate variances based on assumption of normal distribution of original data. This model consists of linear environmental costs function, net annual growth equation, and stochastic NPV equation.

3. RESULT AND DISCUSSION

Physical factor measurements in all sampling locations showed suitable conditions for coral reefs. The growth and functioning of coral reefs is best under the following general conditions, such as: water temperatures in the optimum range of about 23-30oC; clear seas in tropical latitudes; low level of sedimentation; and salinity in the range of 25 to 40o/oo [8]. Thus, there were no natural extreme conditions in study area that affected coral reefs during study period.

The variability of fish distribution on Seribu Islands was affected by the human activities. The high density of inhabitant (19,248 inhabitants/km2) and the lack of alternative for income generating have pushed community to the activities related directly to the coral reefs, no other remains land for agriculture or industry. Compared to Gili Trawangan Island (320 inhabitants/km2), inhabitants have enough land for agriculture, while others have been worked in the field of tourism services. The number of fishermen on Seribu Islands is also higher than other locations. There are 5,440 fishermen on Seribu Islands (63.27% of total manpower), 564 fishermen around Menjangan Island (3.13% of total manpower), and 323 fishermen on Gili Islands (27.87% of total manpower).

The management of coral reefs in study area is an example where open access conditions are approximated. In open access fisheries people compete for resource benefits by fishing as fast as they can and catching as much as they can [9]. Therefore the competition among coral reefs users has led to the destructive methods to harvest reef organisms. Cyanide fishing and coral collecting generated highly destructive effects to the coral reefs. The environmental costs caused by both activities were almost ten times their benefits. Annual benefit of cyanide fishing and coral collecting on Seribu Islands were $235,160.31/km2 and $163,430.00/km2 respectively, and annual environmental costs were $2,506,495.03/km2 and $1,382,552.88/km2 respectively. In contrast, annual benefit of tourism was $1,265,257.30/km2 and annual environmental cost was $39,542.33/km2 (only 3.12% of benefit).

The result from impact calculation showed that 20,218 dives and snorkels on Menjangan Island caused 3.83% coral damage, 11,497 dives and snorkels on Gili Islands generated 2.18% coral damage, and 2,936 dives and snorkels on Seribu Islands caused 0.56% coral damages. These impacts were still within the range of impact from the similar activity in in South Africa [10] and in Northern Red Sea [11].

Environmental cost of tourism was smaller than benefit, but tourism needed high investment costs. These high investment costs could be provided only by far away businessmen. On the one hand, cyanide fishing and coral collecting generated destructive effects to the coral. On the other hand, tourism needed good coral reefs condition. Therefore the conflict between tourism and cyanide fishing and coral collecting could not be avoided, although it was regulated with different use zones. Tourism could provide many jobs for coastal communities, but only for skilled labour. Coastal communities, which have low level education and limited capital, could not initiate innovation for less damaging coral reefs uses. Thus, they only involved in small-scale cyanide fishing and coral collecting. These small-scale fisheries create relatively high value with little capital investment required [12]. Meanwhile, fish and coral traders who received higher benefits can easily moved to other kinds of business. These inequalities are of crucial importance in understanding the causes and consequences of coral reefs degradation [13].

The calculation of improvement of fishing showed that its environmental and operational costs could be reduced about 78.88% and 15.39% respectively. However, fishermen did not change their fishing method because: a) their benefit would decreased about 49.72% (5 fish species could not be trapped by barrier net), b) the operation of barrier net needed extra set up time, and c) fishermen did not bear fish mortality (they sell the fish quickly to the traders). Therefore the price incentive should be given to fishermen up to 40% of prior prices to settle up their benefits as before.

Fish trader might also expend controlling cost to ensure that fishermen did not use cyanide. Thus, the benefit of fish traders would decrease about 3.88% because of controlling cost and 16.76% because of price incentive. However fish trader still received additional benefit, because the total decreasing of benefit (20.64%) was still below the increasing of healthy fishes (30%).

The benefit of coral farm was calculated based on assumptions that the cost, growth and survival rate, and fragment number of coral per hectare are similar to the coral farming in Philippine, and the price of coral is similar to the average price of Indonesian corals ($2.93/piece). The result showed that net annual benefit is $13,212.84/hectare, which is operated by 30 families. Therefore each farmer family can generate an additional income about $440.43 annually. This additional income is higher than the income from coral collecting, which is only $165.37 annually.

Mooring buoys, which will be built in diving and snorkelling zones could reduce 62.02% of negative impact of boat anchor, while investment cost only increased 0.15%. It was also calculated that the cost for patrolling was only 4.89% of operational and maintenance costs. However, the damage from tourist behaviour could be reduced by providing information about coral reefs to the tourist before diving and snorkelling. The raise of awareness of tourists can increase their carefulness in these activities.

The result of ECBA model showed that the expected NPV was negative (‑$14.68 million) on Seribu Islands because there were high intensities of cyanide fishing and coral collecting and low intensity of tourism. In contrast, the expected NPV was positive ($17.25 million) on Menjangan Island because there was high intensity of tourism, and moderate intensities of cyanide fishing and coral collecting. The expected NPV was also positive ($2.26 million) on Gili Islands because there were low intensities of cyanide fishing and coral collecting, and moderate intensity of tourism. If cyanide fishing was imrproved by barrier net fishing, coral collecting was improved by coral farming, and tourism was improved by building mooring buoy, the expected NPV on Seribu Islands will be positive ($41.14 million).

The potential of improvement of coral reefs uses can be implemented if fishermen, coral farmers, tourism operators, and fish and coral traders receive a guarantee that they will be gratified over a certain period. Therefore they should be protected to manage their own coral reefs resource. Thus de facto open access property rights must be reformed to common-property rights where they can share the property rights of coral reefs. The share of property rights can be easier specified and distributed among them if they are integrated in one institution. Although rights are further specified than in the case of open access resources, some scientists argue that it is still not fully assigned to one individual so that external effects persist [14]. Of course each member might then apply different investment, but the aim of this common property rights is to share use rights and responsibilities based on previous activities. Moreover there are also prior informal culturally embedded rules on Menjangan Island and Gili Islands that restrict the use of resources to some extent.

The integration of stakeholders is possible since there are separated informal group, such as fishermen group (including fish traders), coral collectors group (including coral trader), and tourism operators group. These groups have been formed based on similarity of activity and administrative level (village), while certain coral reefs area might covers more than one village. There is also a gap between traditional groups (fishermen and coral collector groups) and modern group (tourism operator group). Therefore local NGOs are needed to initiate the integration of these groups into one formal institution based on coral reefs area. Local NGOs are also important to link this institution to the expert groups, and then the expert group can help to initiate motivation of innovation of a new technique of resource uses (see Figure 3).

Local NGOs can help stakeholders to seek information on improved coral reefs uses and encourage local leaders to embark on the management of coral reefs area. In short time, in the process of resource management there are three streams of thought which must be reconciled: the wish of the stakeholders to share in the benefits from coral reefs resources while protecting their coral reefs area from outsiders, the desire of local governments to extract resource rents and the push by expert groups and other participants to develop viable local coral reefs management.

It is also necessary to define the institution structures, powers and responsibilities within the framework of provincial and national legislation, to provide local institutions with more capacity to deal with external threats and become involved in development planning, execution and evaluation. Therefore in the short time it is needed transaction costs for gathering information, coordinating users, organizing decision making and enforcing rules (price incentive, monitoring and controlling costs) [9][14]. However, the transaction costs of managing the common property are lower than under a purely government management regime [15]. This research proved that transaction costs of managing the proposed common property ($3.26 million for 25 years) are lower than the government project for coral reefs management ($171.74 million for 20 years).

Besides direct regulation, a strategy to manage coral reefs can be achieved by stimulating voluntary agreements of market participants and moral suasion via conveying information to the public, direct communication, and education [16]. International NGOs can connect this new institution to the consumers of coral reefs to promote their green products. International NGOs can also carry out joint works with local NGOs and government institutions, but the past experiences showed that most of successful collaborations were the first format. Thus on one side it is important to increase the role of NGOs in Indonesian coral reefs management. On the other side NGOs are not allowed to make deeper interventions, because the self-management motivation will decrease.

The successful common property management often occurs in areas where there are a well-defined and limited community; locally-defined management rules; locally-developed institutions that are accepted; higher levels of authority which support local institutions and help to monitor and enforce compliance; and the right to exclude others from participating in the fishery [17]. Therefore government should protect this mechanism by acknowledgment of this common property right. The new institution must be acknowledged by government as an independent institution to reduce the government intervention in coral reef management. Of course the willingness of government to accept this new institution is low because the government power will be reduced. But the willingness of government can be increased by the international public awareness, which can be formed as a demand of a green product (certification issue).

4. CONCLUSION

Cyanide fishing has been identified as the most destructive method to harvest coral reefs organisms, which was more than ten times its benefit. In contrast tourism only generated environmental cost less than five percent of its benefit. The destructive effects of cyanide fishing and coral collecting were higher than the results from other similar study, while destructive effect of tourism was still within the range of other similar study.

The environmental cost of cyanide fishing can be reduced more than half if it is changed by barrier net fishing, while coral farming has been proved as the less damage method to change coral collecting. The installation of mooring buoys in tourism zones can reduce the environmental cost of tourism more than fifty percent, while the cost of investment only increases less than one percent. Therefore these technical improvements of coral reefs uses can reduce the environmental costs of major activities in Indonesian coral reefs. The ECBA model shows that if these anthropogenic threats are not quickly reformed, long-term economic loss of coral reefs uses in Indonesia will be very high. The improvement of coral reefs uses can reduce economic loss to be economic gain.

The improvement of coral reefs uses can be implemented if de facto open access property right of coral reefs is changed to more responsible and acceptable common property right. The fishermen and fish traders, coral collectors and coral traders, and tourism operators in certain coral reefs area can be integrated in one formal institution to share the property rights of coral reefs.

Acknowledgement

We would like to express special thanks to The German Academic Exchange Service (DAAD) that gave financial support.

We wish to thanks to Prof. Dr. Franciscus Colijn for discussion of biological parts.

We acknowledge Department of Agricultural Economic (University of Kiel), Marine Nature Reserve Authority of Seribu Islands, West Bali Park Authority, and Marine Nature Tourism Authority of Gili Trawangan that gave facilities to do our work. The people around Seribu Islands,

Menjangan Island, and Gili Islands are acknowledged for their friendship and cooperation.

References

[1] Spalding, M. D., C. Ravilious , and E. P. Green. 2001. World Atlas of Coral Reefs. Prepared at the UNEP World Conservation Monitoring Centre. University of California Press, Berkeley, USA.

[2] Mc Manus, J. W. 1997. Tropical Marine Fisheries and The Future of Coral Reefs: A Brief Review with Emphasis on Southeast Asia. Coral Reefs (1997) 16, Supplement: S121 – S127. ©Springer-Verlag.

[3] Mc Manus, J. W., R. B. Reyes Jr., and C. L. Nañola Jr. 1997. Effects of Some Destructive Fishing Methods on Coral Cover and Potential Rates of Recovery. Environmental Management (1997) Vol. 1, No. 1, pp. 69 – 78. ©Springer-Verlag.

[4] Mous, P. J., L. Pet-Soede, M. V. Erdmann, H. S. J. Cesar, Y. Sadovy and J. S. Pet. 2002. Cyanide fishing on Indonesian coral reefs for the live food fish market – What is the problem? The Nature Conservancy, Jakarta, Indonesia.

[5] Ross, A. Michael. 1984. A Quantitative Study of the Stony Coral Fishery in Cebu, Philippines. Marine Ecology, 5 (1): 75-91. ©Paul Parey Scientific Publisher.

[6] Bell, J.D. and R. Galzin. 1984. Influence of live coral cover on coral-reef fish communities. Mar. Ecol. Prog. Ser. 15: 265-274. ©Inter-Research.

[7] Holbrook, S. J., A. J. Brooks, and R. J. Schmitt. 2002. Predictability of fish assemblages on coral patch reefs. Mar. Freshwater Res., 2002, 53: 181-188. ©CSIRO 2002.

[8] Wilkinson, C. R. and R. W. Buddemeier. 1994. Global climate change and coral reefs: implications for people and reefs. Report of the UNEP-IOC-ASPEI-IUCN Global Task Team on the implication of climate change on coral reefs.

[9] Hanna, Susan. 2001. Tradition and Globalisation Common Property in Theory and Practice, The Example of Biodiversity Protection in Fisheries. Paper presented at the first Pacific Regional Meeting of the International Association for the Study of Common Property (IASCP), Brisbane, Australia, 2-4 September 2001.

[10] Schleyer, M. H. and B. J. Tomalin. 2000. Damage on South African coral reefs and an assessment of their sustainable diving capacity using a fisheries approach. Bulletin of Marine Sciences 67 (3): 1025-1042.

[11] Zakai, D. and N. E. Chadwick-Furman. 2002. Impacts of intensive recreational diving on reef corals at Eliat, Northern Read Sea. Biol. Conserv. 105: 179-187.

[12] Pet-Soede, Lida and Mark V. Erdmann. 1998. An overview and comparison of destructive fishing practices in Indonesia. SPC Live Reef Fish Information Bulletin 4: 28-36

[13] Boyce, J.K. 2002. The Political Economy of The Environment. Edward Elgar Publish. Ltd. UK.

[14] Hurrelmann, Annette. 2002. Land Markets in Economic Theory. A review of the literature and proposals for further research. Shaker Verlag, Germany.

[15] Kuperan, K., N. Mustapha, R. Abdullah, R. S. Pomeroy, E. Genio, A. Salamanca. 2001. Measuring transaction costs of fisheries co-management. International Center for Living Aquatic Resources Management (ICLARM), Manila.

[16] van den Bergh, Jeroen C. J. M. 1996. Ecological Economics and Sustainable Development: Theory, Methods and Applications. Edward Elgar Publish. Ltd. UK.

[17] Heylings, Pippa, and Felipe Cruz. 1998. Common property, conflict and participatory management in the Galapagos Islands. Paper presented in The Crossing Boundaries Conference, June 1998.

Pengembangan Ekspor Produk Kelautan Indonesia ke Eropa

Posted April 23, 2008 by coastaleco
Categories: Jurnal

Potensi dan Kondisi

Potensi kelautan Indonesia telah sering dipublikasikan di berbagai media. Sebagai negara bahari, Indonesia dikelilingi oleh wilayah laut seluas 2.915.000 km2 dengan garis pantai sepanjang 95.181 km (Suharsono, 2001). Sayangnya, potensi ini belum benar-benar digali untuk menghasilkan devisa lebih banyak lagi. Sebagai gambaran dapat dilihat dari ekspor produk perikanan tangkap yang rata-rata hanya sebesar 15,88% dari hasil perikanan tangkap tahun 1991-2000.

Produksi perikanan tangkap selama dekade terakhir rata-rata sebanyak 3.506.901 metrik ton per tahun dengan rata-rata peningkatan 4,33% per tahun. Berdasarkan data tahun 2000, perikanan tangkap menyumbangkan 84,00% terhadap produksi perikanan secara keseluruhan. Sayangnya, sebagian besar produk perikanan hanya bisa digunakan untuk keperluan konsumsi dalam negeri. Indonesia baru bisa engekspor rata-rata sebanyak 536.397 metrik ton per tahun dengan nilai 1,56 milyar US$ dengan harga rata-rata sebesar US$2,93/kg.

Ekspor produk kelautan masih didominasi oleh produk konvensional untuk konsumsi seperti udang dan ikan tuna, sedangkan produk lainnya (ikan hias dan invertebrata) masih sangat sedikit. Ekspor udang selama dekade terakhir rata-rata mencapai 103.086 metrik ton (19,22% dari total ekspor) dan ikan tuna 88.127 metrik ton (16,43%), sedangkan ikan hias baru mencapai 1.361 metrik ton (0,25%). Harga komoditi tersebut memang cukup baik di pasar internasional. Selama satu dekade terakhir, harga udang rata-rata US$9,22/kg, ikan tuna US$2,18/kg, kepiting US$3,54/kg, ikan hias hidup US$3,65/ekor, invertebrata hidup US$3,72/potong dan ikan konsumsi hidup US$19,67/kg, sedangkan harga ikan lainnya hanya berkisar antara US$1,07/kg – US$2,07/kg (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Harga Ekspor Komoditas Perikanan Indonesia (FOB, Jakarta)

No.

Komoditas

Harga terendah

(US$/kg)

Harga tertinggi

(US$/kg)

Harga rata-rata

(US$/kg)

1

Udang

7.09

10.97

9.22

2

Tuna

1.69

2.46

2.18

3

Kepiting

1.78

6.33

3.54

4

Ikan hidup

8.00

63.00

19.67

5

Ikan hias

0.50

30.00

3.65

6

Invertebrata lain

1.00

15.00

3.72

7

Lainnya

0.89

1.22

1.07

Sumber:
diolah dari data FAO (2002) dan DKP (2002).

Sementara itu, produk alami laut (marine natural produk) yang dihasilkan dari ekstraksi senyawa bioaktif metabolit sekunder biota laut relatif belum digarap. Padahal, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, estimasi perolehan devisa dari bioteknologi kelautan ini bisa mencapai 4 milyar US$. Sebelum tahun 1993, sebanyak kurang lebih 6.500 senyawa berhasil diisolasi dan pada tahun 1999 jumlahnya berlipat menjadi sekitar 10.000. Penggandaan hingga 50 persen dalamjangka waktu empat tahun menggambarkan peledakan minat yang besar terhadap produk alami dari laut (Effendi,2002).

Hasil penelitian Ruitenbeek dan Cartier (1999) di perairan Jamaica menunjukkan bahwa nilai bioprospek farmasi dari terumbu karang seluas 73,78 km2 sebesar 7,01 juta US$. Andaikan nilai tersebut dipakai untuk menghitung nilai bioprospek farmasi dari terumbu karang Indonesia yang luasnya mencapai 51.020 km2, maka nilainya akan menjadi 4,85 milyar US$. Disebutkan pula bahwa nilai pasar global dari industri farmasi sebesar 256 milyar US$, industri kosmetik 6 milyar US$, industri enzim 1,6 milyar US$, dan bioteknologi enzim 0,6 milyar US$. Bila industri bioprospek farmasi dari laut Indonesia bisa digarap, maka devisa yang akan diperoleh sangat besar.

Peluang

Berdasarkan data dari FAO selama satu dekade terakhir, produk kelautan dan perikanan sebagian besar (72,70%) digunakan untuk komsumsi. Sebagian besar konsumsi produk kelautan dan perikanan dalam bentuk segar (34,90%), beku (20,50%) dan sisanya (17,30%) berupa ikan dalam kaleng dan olahan lainnya.
Ini menunjukkan bahwa peluang pasar bagi produk kelautan dan perikanan dalam bentuk segar dan beku masih cukup baik di pasar internasional. Baru sebagian kecil (27,30%) digunakan untuk kepentingan lain, termasuk untuk industri bioteknologi kelautan.

Beberapa industri besar sejak tahun 1989 mulai berbondong-bondong terjun dalam produk ini, seperti Hitachi chemical yang berkonsentrasi pada protein addhesive untuk kepentingan medis yang diperoleh dari tiram mutiara. Mitsubishi Kasei menggali terpenoid bakterisidal yang diisolasi dari sponge, Mitsubishi Plastic bergerak pada polisakarida. Rhone Poulene dari Perancis menggarap agen cytotoksik dari ascidian. Bayer dan Asta Medica di Jerman juga sejak beberapa tahun belakangan mulai menjamah bidang ini. Senyawa yang diisolasi dari biota laut sebagian besar atau sekitar 82 persen digunakan untuk kepentingan medis, makanan tambahan, dan kosmetik. Sejak tahun 1969 hingga tahun 1995, dari 200 aplikasi paten, USA menempati urutan kepemilikan terbanyak diikuti oleh Jepang, Spanyol dan Perancis (Effendi, 2002).

Jepang, Amerika dan Eropa merupakan pasar utama bagi produk perikanan dunia. Pada tahun 2000, import Jepang mencapai nilai 15,51 milyar US$, Amerika sebanyak 10,45 milyar US$ dan Eropa sebanyak 21,78 milyar US$. Sekilas nampak pasar Eropa mampu mengimbangi pasar Jepang dan Amerika, namun import Eropa sampai tahun 2000 masih berasal dari negara-negara Eropa sendiri. Eropa hanya mengimport sebanyak 3,31 milyar US$ (15,22%) dari luar Eropa. Namun demikian, negara-negara Asia Timur dan
Asia Tenggara mampu mengisi peluang pasar Eropa dengan pangsa pasar sekitar 12,50% dari total import Eropa yang berasal dari luar Eropa (lihat Tabel 2). Peluang ini akan semakin besar pada masa mendatang akibat adanya kesepakatan negara-negara Eropa untuk mengurangi tangkapan ikan di laut sekitar Eropa.

Tabel 2. Neraca Perdagangan Produk Perikanan di Eropa

No.

Perdagangan

1997

1998

1999

2000

1

Impor (US$1000)

21235976

23685628

22637435

21781355

2

Ekspor (US$1000)

18099298

19022772

19424072

18466064

3

Net Impor (US$1000)

3136678

4662856

3213363

3315291

4

Net Impor (%)

14.77

19.69

14.19

15.22

5

Impor dari
Asia Tenggara dan Timur (%)

12.50

Sumber:
diolah dari data FAO (2002).

Sampai saat ini pasar produk makanan dan bahan pangan (lebensmittel) di Eropa berpusat di Jerman karena letak geografisnya yang strategis di jantung Eropa. Sekitar 75% dari peredaran produk tersebut di Eropa atau 55% di Uni-Eropa, dikendalikan dari kota Hamburg (Jerman). Negara yang berpenduduk 82 juta jiwa dan memiliki pendapatan nasional bruto 2.019 milyar Euro ini juga mengadakan kontak dagang dengan negara-negara di kawasan ASEAN yang nilainya mencapai 16,8 milyar US$. Pangsa terbesar masih direbut oleh Singapura sebesar 24,1%, kemudian Malaysia sebesar 23,4% dan Thailand sebesar 16,2%, sedangkan Indonesia dan Filipina masing-masing baru sebesar 15,5% dan 12,0%. Hasil survey pada bulan Juli 2002 di Grossmarkt Hamburg menunjukkan bahwa sekitar 142 jenis produk dari Thailand (bumbu, sayur, buah, dan ikan) masuk ke Eropa melalui Hamburg lewat jalur udara yang disiapkan oleh maskapai penerbangan  mereka (Thai Airlines) sekali dalam seminggu.  Sementara itu, beberapa jenis ikan tuna dalam bentuk segar dan ikan hias dari Indonesia telah masuk Eropa melalui Hamburg lewat jasa angkutan udara Singapore Airlines.

Import produk perikanan Eropa yang berasal dari negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara didominasi oleh Thailand, Indonesia dan Vietnam. Pada tahun 2000, eksport bersih Indonesia sebesar 1,49 milyar US$, sedangkan Thailand sebesar 3,58 milyar US$ dan Vietnam sebesar 1,46 milyar US$. Data tersebut menunjukkan bahwa eksport bersih Indonesia masih kurang dari separuh eskport bersih Thailand. Padahal produksi perikanan tangkap Indonesia tahun 2000 sebanyak 4,14 juta metrik ton sedangkan Thailand hanya sebanyak 2,92 juta metrik ton. Apalagi bila dilihat dari wilayah perairan laut Indonesia yang jauh lebih luas daripada Thailand yang hanya 26.000 km2 atau sekitar 30 % dari Indonesia.

Kenyataan tersebut menunjukkan dua hal, yaitu: 1) produk perikanan Indonesia lebih banyak ditujukan untuk konsumsi dalam negeri, 2) jenis dan mutu produk perikanan Indonesia masih banyak yang belum memenuhi standar eksport, dan 3) masih kurangnya dukungan dari transportasi nasional untuk ekspor. Hasil pengamatan di lapangan cenderung kepada 2 hal yang terakhir. Artinya, mutu produk perikanan Indonesia masih banyak yang belum mampu memenuhi standar eksport. Eksportir Indonesia
dari Jakarta dan Denpasar masih sering menggunakan maskapai penerbangan asing karena maskapai
penerbangan nasional belum mampu memenuhi permintaan jasa penerbangan ekspor bahan makanan segar dan hidup. Peningkatan mutu produk perikanan Indonesia dengan teknologi pasca panen harus diupayakan agar produk perikanan Indonesia mampu mengisi peluang pasar Eropa yang semakin besar di masa mendatang, disamping pembenahan sarana angkutan udara nasional untuk mendukung kegiatan ekspor bahan makanan segar dan hidup.

Kendala

Seringkali terdengar bahwa modal (keuangan) merupakan kendala utama dalam pengembangan industri kelautan Indonesia. Padahal, keseriusanlah yang menjadikan aliran modal untuk industri perikanan menjadi terhambat. Buktinya, negara Thailand yang modalnya relatif sama dengan Indonesia, mampu meningkatkan eksport perikanannya.  Eksport perikanan Thailand selama tiga tahun terakhir (1998-2000) meningkat rata-rata 4,17%/tahun, sementara eksport perikanan Indonesia pada kurun waktu yang sama menurun 1,35%/tahun (lihat Tabel 3).

Tabel 3. Ekspor Perikanan dari Negara Pengekspor Utama di Dunia

No.

Negara

Ekspor (US$1000)

1998

1999

2000

1

Thailand

4031279

4109860

4367332

2

China

2656117

2959530

3605838

3

Norway

3661174

3764790

3532841

4

USA

2400338

2945014

3055261

5

Canada

2265236

2617759

2818433

6

Denmark

2897707

2884334

2755676

7

Chile

1596800

1699516

1784560

8

Taiwan

1579836

1702363

1756133

9

Spain

1529315

1604237

1599631

10

Indonesia

1628494

1527092

1584454

Sumber: FAO (2002).

Ketidakpastian (uncertainity) dan sifat musiman dari bidang kelautan seringkali dijadikan alasan pihak perbankan Indonesia yang belum mau melayani bidang tersebut. Bila alasan tersebut benar adanya, pastilah Thailand atau bahkan Vietnam tidak akan mengembangkan bidang kelautan dan perikanan. Kalaupun
alasan tersebut benar, pengembangan ilmu dan teknologi eksploitasi dan pasca panen sumberdaya hayati laut serta manajemennya, pasti mampu mengatasi semua kendala tersebut. Data menunjukkan bahwa ekspor perikanan Thailand menyumbangkan 37,50% pada ekspor pertaniannya dan 6,40% pada total ekspornya. Eskpor perikanan Vietnam bahkan menyumbangkan 40,50% pada ekspor pertaniannya dan 10,30% pada total ekspornya. Sementara ekspor perikanan Indonesia baru menyumbangkan 24,30% pada ekspor pertaniannya dan 2,60% pada total ekspornya (lihat Tabel 4).

Tabel 4. Keragaan Ekspor Perikanan ASEAN

No.

Negara

Ekspor

(US$1000)

Impor

(US$1000)

Net Ekspor

(US$1000)

Terhadap Pertanian (%)

Terhadap Total (%)

1

Thailand

4367332

781767

3585565

37.5

6.4

2

Indonesia

1584454

95075

1489379

24.3

2.6

3

Vietnam

1480110

18792

1461318

40.5

10.3

4

SouthKorea

1385948

1371830

14118

47.5

0.8

5

NorthKorea

87276

13006

74270

70.4

9.2

6

Philippines

400287

108574

291713

20.6

1.0

7

Myanmar

184972

1840

183132

70.0

13.2

8

Cambodia

32174

4107

28067

56.4

8.5

9

Malaysia

349080

296782

52298

7.4

0.4

10

Singapore

452583

555476

-102893

12.0

0.4

Sumber: FAO (2002).

Wabah penyakit sapi gila yang terjadi tahun 2000 di Eropa menyebabkan masyarakat Eropa lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi makanan. Masyarakat Jerman mewaspadai semua produk makanan yang berasal dari luar Jerman.  Begitu pula masyarakat Eropa yang mewaspadai produk makanan dari luar Eropa. Akibatnya, pada akhir tahun 2001 produk perikanan Indonesia ditolak masuk ke pasar Eropa dengan alasan adanya kandungan chloramphenicol. Walaupun pihak Indonesia sudah menyatakan bahwa kandungan chloramphenicol tersebut masih jauh di bawah standar internasional, produk tersebut tetap saja ditolak karena Eropa tidak dapat mentolerir adanya chloramphenicol dalam makanan mereka. Akibatnya Komisi Eropa membuat keputusan (Commission Decision) pada tanggal 27 September 2001 untuk mewaspadai beberapa produk perikanan dan akuakultur dari Indonesia. Pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa ini adalah: 1) belum adanya aliran informasi timbal balik antara importir di Eropa dan eksportir dari Indonesia, dan 2) mutu produk perikanan Indonesia harus mampu memenuhi standar produk bahan makanan di Eropa.

Bea masuk yang ditetapkan di beberapa negara Eropa juga dianggap sebagai kendala masuknya produk perikanan Indonesia ke pasar Eropa. Walaupun ada perlakuan khusus dalam hal bea masuk produk ekspor ke EU dari negara-negara tertentu, EU hanya memberlakukannya bagi ACP (bekas jajahan negara-negara Eropa, terbanyak Afrika) dan US bagi Andean Pact Countries (bekas jajahan US). Indonesia tidak termasuk, karena saat policy tersebut dibuat, hubungan Indonesia dengan bekas penjajahnya kurang baik (waktu itu masih di jaman orde lama), sehingga Belanda enggan mendaftarkannya. Setelah itu Indonesia minta supaya direvisi, tetapi sampai saat ini belum ditanggapi.

Hasil survey di beberapa negara di Eropa menunjukkan bahwa importir ikan hidup di Eropa dikenakan biaya pemeriksaan (veterinary inspection fees) yang besarnya bervariasi dari 8 US$/100 kg di Inggris sampai 30 US$/100 kg di Belanda. Tambahan biaya juga dikenakan bila kedatangan produk import di luar waktu kerja normal yang besarnya bervariasi di setiap negara. Biaya ini disebut dengan Extra Evening Charge (antara jam 18.00-24.00 waktu setempat), Extra Morning Charge (antara jam 24.00-08.00 waktu setempat), dan Extra
Saturday/Sunday and Public Holiday Charges
.

Importir di Eropa umumnya menggunakan transportasi udara untuk produk perikanan dalam bentuk segar dan hidup, dan transportasi laut untuk produk beku dan kemasan. Hasil survey di beberapa negara di Eropa menunjukkan bahwa 53% importir menggunakan modus transportasi campuran (laut dan udara) dan sisanya (47%) menggunakan modus transportasi tunggal. Data yang cukup mengherankan adalah dari 5.000 catatan pengiriman, 25% berasal dari Singapura, sedangkan Indonesia dan negara Asia lainnya kurang dari 10%.
Pengangkutan produk perikanan lewat udara didominasi oleh KLM (Belanda) dan Lufthansa (Jerman) masing-masing sebesar 15%, sedangkan Singapore Airlines sebesar 9% dan Garuda hanya sebesar 5%.
Perkembangan usaha transportasi laut Indonesia memang sudah sejak lama menghadapi masalah, jangankan untuk inter-continental, untuk inter-insuler saja sudah kewalahan.

Issue lingkungan yang merebak akhir-akhir ini juga ditujukan pada beberapa hasil laut Indonesia seperti udang, ikan tuna, dan ikan (biota) karang. Hasil laut (baik dari tangkapan maupun budidaya) yang dalam prosesnya dianggap mencemari atau merusak lingkungan, dalam waktu dekat akan dilarang untuk masuk ke Eropa. Kebijakan eco-product ini tentu akan menghambat ekspor hasil laut Indonesia ke Eropa. Walaupun dalam jangka panjang akan menjamin keberlanjutan eskpor hasil laut Indonesia.

Pengembangan

Berdasarkan uraian terdahulu, beberapa pengembangan untuk meningkatkan kompetensi bidang kelautan dalam industri Indonesia, antara lain adalah:

1. Pengembangan teknologi eksploitasi dan pasca panen sumberdaya hayati laut yang disesuaikan dengan standar negara tujuan ekspor. Misalnya dengan mencari alternatif bahan desinfektans untuk menggantikan chloramphenicol dalam proses pasca panen udang dan ikan.

2. Pengembangan industri bioteknologi kelautan untuk kepentingan medis, makanan tambahan dan kosmetik yang mulai menunjukkan nilai yang tinggi di pasar internasional.

3. Peningkatan arus informasi dari negara importir mengenai standar mutu dan arus informasi ke negara importir mengenai spesifikasi produk kelautan Indonesia.

Pustaka

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002.
Statistik Perikana Indonesia. DKP-RI, Jakarta.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002.
Country Status Overview
2001 tentang Eksploitasi Perikanan dan Perdagangan dalam
Perikanan Karang di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan, Yayasan
Telapak Indonesia, International Marine Life Alliance. Jakarta April 2001.

Effendi, Hefni. 2002. Mikrobioteknologi Laut; Tantangan Baru dalam Eksploitasi Laut
Nusantara. Kompas, Senin, 19 Agustus 2002.

FAO. 2002. Fisheries Statistical Year Book 2000. FAO, Rome.

Official Journal of the European Communities. 2001. COMMISSION DECISION of 27 September 2001 concerning certain protective measures with regard to certain fishery and aquaculture products intended for human consumption and originating in Indonesia.

http://europa.eu.int/eurlex/pri/en/oj/dat/2001/l_260/l_26020010928en00350036.pdf

Official Journal of the European Communities. 2001. COUNCIL REGULATION (EC) No.1036/2001 of 22 May 2001 prohibiting imports of Atlantic bigeye tuna (Thunnus obesus) originating in Belize,Cambodia, Equatorial Guinea,Saint Vincent and the Grenadines and Honduras.

Ornamental Fish International. 1999. European Importers’ Survey Results. OFI Journal Issue 26: February 1999.

Ruitenbeek, Jack, and Cynthia Cartier. 1999. Issues in Applied Coral Reef Biodiversity
Valuation: Results for Montego Bay, Jamaica. World Bak Research Comitte Project RPO #
682-22.

Suharsono. 2001. Condition of Coral Reef Resource in Indonesia. Oceanological Research and Development
Centre, Indonesian Science Agency. Paper presented in International Workshop on the Trade in Stony Corals: Development of sustainable management guidelines. Jakarta, April 9-12, 2001.

AN ECONOMIC ANALYSIS OF COASTAL MANAGEMENT IN SUBANG REGENCY, WEST JAVA PROVINCE, INDONESIA

Posted April 23, 2008 by coastaleco
Categories: Jurnal

Abstract

Brackish-water pond area in North coast of Subang Regency expanded while the mangrove forest still growing there. The objective of this research is to analyze total economic value of coastal land, which
summed up all of the values, such as direct use value, indirect use value, option value and existence value
.

Based on identification of capture-able benefits, the result of benefits quantification on the coastal land that covered by mangrove forest were a) direct use value was US$ 5004134.80, b) indirect use value was
US$ 13547042.40, c) option value was US$ 76731.84, and d) existence value was US$ 13408903.96. While the value of coastal land that used for brackish-water aquaculture was US$ 5949924.03. Thus, total economic value of 136.83 km2 coastal land was US$ 37986737.03 or US$ 277619.94/km2.

INTRODUCTION

Coastal area in Subang Regency was covered by mangrove forest. But every year that forest area reduced by the extended of brackishwater aquaculture. Total area of brackishwater ponds in eight villages increased from 15.25 kilometer square in 1988 to 50.50 kilometer square in 1995 or increased about 33 % anually.

Human population growth and price increasing of brackish-water product supported the extended of brackish-water aquaculture area. Population growth in eight villages was around 1.24 % per year from 37811 persons in 1988 to 41094 persons in 1995. This human growth pushed the demand of land for culturing brackish-water fishes. The average price of brackish-water aquaculture product was increased about 12.75 % per year from US$ 1.96/kg in 1992 to US$ 2.71/kg in 1995. This price also pushed the demand of land for culturing brackish-water fish. Furthermore, those demand forced to land use changes in coastal area.

Table 1. Changes in Coastal Land and
Coastal Community in Subang Regency, West Java.

Human
Population (persons)

Year 1998

Year 1995

Changes (%/year)

1.Highest

2. Lowest

3. Average

7552

765

4726

8122

821

5137

1.34

1.21

1.24

Fish Price (US$/kg)

Year 1992

Year 1995

Changes (%/year)

1. Highest

2. Lowest

3. Average

3.75

0.12

1.96

6.25

0.21

2.71

22.22

25.00

12.75

Brackish-water
Ponds (km2)

Year 1998

Year 1995

Changes (%/year)

1. Highest

2. Lowest

3. Average

3.85

0.71

1.91

10.21

1.88

6.31

23.60

23.54

32.90

Source: Fisheries Agency of Subang Regency, 1996.

Unfortunately, government supported these land use changes. In the land use planning document made by government, stated that all of the coastal land of Subang Regency could be used for brackish-water aquaculture. The government seems not considered the ecological functions of mangrove forest. Decreasing of mangrove forest area would mean significant decreasing of fish population in adjacent marine waters.

METHODS
Study area and characteristics of fishery

There was 15 villages in coastal area of Subang Regency which total area covered 163.80 kilometer square. Fisheries Agency of Subang Regency estimated around 136.83 kilometer square or 83.52 % from total area was a coastal land. This estimation based on the impact of salinity in the rivers on that area and the kind of soil, which dominated by gleisolhidrik.

Total human population of coastal area was 73668 persons, which average population density 459 persons/km2. Most of coastal community worked as farmers (53.71 %), brackish-water aquaculture
operators (4.23%) and fishermen (3.69%). Total production from marine fisheries was 13466 ton and from brackish-water aquaculture fisheries was 9014 ton. All of fisheries productions recorded by 5 fish auctions for marine fisheries and 9 fish auctions for brackish-water aquaculture fisheries.

Table 2. Coastal Area and Population Density in Subang Regency, West Java (1995)

Items

Highest

Lowest

Average

1. Coastal area

a. Village area (km2)

b. Coastal land (km2)

c. Percentage (%)

18.99

17.70

93.21

6.07

4.20

69.19

10.92

9.12

83.52

2. Coastal population

a. Human population (persons)

b. Population density (persons/km2)

8122

831

821

187

4911

459

Sources : 1. Fisheries Agency from Subang Regency, 1996.

2. Village Potential Books, 1996.

Parameter estimation

Coastal resources valuation using three-step valuation as below:

a. Identification of benefit and functional relationship among resource components,

b. Quantification of all benefits and resource functions in term of money, and

c. Valuation of resource allocation alternatives.

Identification of benefits and resource functions using total economic value (TEV) which summed up all of the values, such as direct use value (DUV), indirect use value (IUV), option value (OV) and existence value (EV) that can be wrote as TEV = DUV + IUV + OV + EV.

Direct use value was the direct benefits derived from mangrove forest such as woods, brackish-water aquaculture and biological benefits. These biological benefits indicated the functional correlation among resource components within ecosystem. These benefits included biological benefit for fin-fishes, shrimps, crabs, bivalves, birds and snakes. All benefits were estimated by simple linear equation between benefits
and area covered by mangrove forest.

Indirect use value was estimated by total fish catch in adjacent marine waters. The value of mangrove forest
function as physical buffer from waves and storms was estimated by the cost of artificial coastal protector such as brake-water walls. The assumption of this estimation was equal benefit distributions within the area.

Option value estimated by mangrove biodiversity if the mangrove forest ecologically important and preserved as nature. According Ruitenbeek (1991), this value was US$ 1500/km2/year. While the existence value was estimated by contingent valuation method (CVM) from 139 respondents.

Table 3. Data Collected for Estimate
the Coastal Resource Values

No.

Data

Measurements

Data Sources

1.

Mangrove area

Kilometer square

Gov. Forestry Agency

2.

Brackish-water aquaculture area

Kilometer square

Gov. Fisheries Agency

3.

Human population

Person

Village potential books

4.

Mangrove stumped value

Cubicmeter/km2/year

Literature

5.

Wood collected

Cubicmeter/km2/year

Respondent

6.

Wildlife collected

Individu/km2/year

Respondent

7.

Fish catches

Kg/year

Respondent

8.

Existence value

US$/km2/year

Respondent

9.

Aquaculture production

Kg/km2/year

Respondent

10.

Aquaculture inputs

US$/km2/year

Respondent

Quantification of all benefits was the second step in this research which using several ways such as:

a. Market value for estimated the direct values of resource components, such as fin-fishes, crabs, shrimps, woods, bivalves, birds and snakes,

b. Indirect price for estimated the values of resource components which did not have a market price, such as physical and biological benefits, and

c. Contingent valuation method for estimated the existence value of mangrove forest.

Valuation of resource allocation alternatives using cost benefit analysis with some considerations such
as:

a. Resource alternative uses in 7 scenarios; actual condition, 100 % traditional aquaculture, 100 % intensive aquaculture, 75 % intensive aquaculture, 50 % intensive aquaculture, 25 % intensive aquaculture, and 100 % mangrove forest,

b. Twenty years of time analysis based on stumpage age (10 cm – 30 cm DBH) of mangrove trees (Sumardjani, 1993),

c. 10 % discount factor based on opportunity cost of free risk investments (Ruitenbeek, 1991).

Results

Identification of benefits

Direct flora benefits from mangrove forest were stumpage value, firewood, and alur (Salicornia brachiata).
While direct fauna benefits were shrimps, fin-fishes, crabs, bivalve, snake and birds. These results can be seen in table below.

Table 4. Results of Parameter Estimations

Variable (Y)

Intercepts (a)

Estimator (b)

Coefficient of det. (R2)

Firewood

25.81

(6.70)

1.11

(0.06)

0.98

Alur

38.41

(10.64)

1.41

(0.11)

0.96

Shrimps

14.78

(161.50)

307.55

(43.70)

0.58

Snakes

16.55

(60.37)

8.72

(0.57)

0.97

Fin-fishes

816.24

(97.97)

12.24

(0.80)

0.97

Eel

466.56

(71.92)

4.14

(0.60)

0.85

Mangrove
crab

40.25

(207.60)

9.45

(1.86)

0.68

Small
crab

377.41

(251.50)

38.98

(2.13)

0.98

Bivalves

523.15

(78.43)

4.19

(0.74)

0.84

Birds

1050.26

(24.87)

2.53

(0.23)

0.95

( ) = standard error

Benefit of stumpage value counted by seed trees method forest management and the value was 9791.30 m3/year. Benefit of poly-culture (silvofishery) counted directly and the valuewas 1389.37 ton/year.

Indirect biological benefit was counted by total fin-fishes catches and shrimps catches. The value of
fin-fishes catches was 3965.60 ton/year and the value of shrimps catches was 1395.60 ton/year.

Quantification of benefits

Based on identification of capture-able benefits, the result of benefits quantification on the coastal
land that covered by mangrove forest were:

a. Direct use value was US$ 5004134.80

b. Indirect use value was US$ 13547042.40

c. Option value was US$ 76731.84

d. Existence value was US$ 13408903.96.

While the value of coastal land thatused for brackish-water aquaculture was US$ 5949924.03. Thus, total economic value of 136.83 km2 coastal land was US$ 37986737.03 or US$ 277619.94/km2.

Resource allocation alternatives

Based on several scenarios made before, the value from each alternative shown in table below.

Table 5. The Results of Cost Benefit Analysis from Coastal Land Use Alternatives

No.

Coastal Land Uses

NPV (US$)

B/C

1.

Actual condition

301477549.50

5.73

2.

100 % traditional aquaculture

(265334615.97)

0.24

3.

100 % intensive aquaculture

789408408.41

1.65

4.

75 % intensive aquaculture

1480932476.40

1.98

5.

50 % intensive aquaculture

1767605894.01

2.93

6.

25 % intensive aquaculture

1781875767.73

3.98

7.

100 % mangrove forest

699482979.20

7.47


DISCUSSIONS

The total economic value derived from this research was estimated by extractive use from the resource that found in the location. This could be underestimated if there are some discoveries in the future for using more valuable resource components. For example, the uses of mangrove trees based on existing knowledge of society in Subang Regency such as for firewood and woodchip. While in other society, the uses of mangrove fruits could be more expand, such as food and pharmacy.

The changing of coastal land use could be more beneficial only for intensive aquaculture, but that use needed more intensive capital, which made consequences to decreasing net present value and B/C. Without land use changing, B/C would be increased but the present alue would be decreased. The favorable land use was 25 % for intensive aquaculture while remaining conserved as mangrove forest. This favorable land
use derived highest present value with moderate B/C. If the coastal land use must be changed for covered population needed, this research suggested maximum land use changing up to 50 %. The relative benefit would be decreased if coastal land-use changing more than half of coastal area (Table 5).

ACKNOWLEDGEMENTS

I wish to thank Prof. Bunasor, Dr. Rokhmin Dahuri and Hermanto Siregar for they suggestions in
this research. The Perhutani State Corporation, Fisheries Agency, Forestry Agency and Local Government of Subang Regency is acknowledged for the data support. Most of all, I wish to thank the people of Subang whose friendliness and coorporated to this study.

REFRENCES

Barton, D. N. 1994. Economic
Factors and Valuation of Tropical Coastal Resources. SMR-report 14/94. Center
for Studies of Coastal Resources, University of Bergen. Norway.

Burbridge,
P. R. and J. E. Maragos. 1985. Coastal Resources Management and Environmental
Assessment Needs for Aquatic Resources Development in Indonesia. IIED;
Washington DC, USA.

Clark,
C. W. 1976. Mathematical Bioeconomics : The Optimal Management of Renewable
Resources. John Wiley and Sons, New York.

Fisheries
Agency of Subang Regency. 1996. Fisheries Annual Reports.

Forestry
Agency of Subang Regency. 1996. Forestry Annual Report

Hufschmidt,
M. M. et al. 1983. Environment, Natural Systems, and Development – An
Economic Valuation Guide. John Hopkins Univ. Press. Baltimore, USA.

Johson,
G. L. 1986. Research Methodology for Economists., Philosophy and Practice.
Macmillian Publishing Co., New York.

Koutsoyiannis,
A. 1977. Theory of Econometrics. An Introductory Exposition of Econometric
Methods. The Maccmillian Press Ltd., UK.

Local
Government Agency of Subang Regency. 1996. Village Potential Books.

Ruitenbeek,
H. J. 1991. Mangrove Management : An Economic Analysis of Management Options
with a Focus on Bintuni Bay, West Irian. EMDI Reports No. 8, Jakarta.

Sumardjani,
L. 1993. Development of Mangrove Timber Estate in Air Sugihan, South
Sumatera. Bulletin Instiper Vol. 4 No. 2, 1993, Yogyakarta.